Minggu, 09 Mei 2010

Industri Pertahanan Indonesia: Produk Lokal yang Diminati Pasar Luar Negeri


Untuk memenuhi kebutuhan akan senjata anti teroris serta perang jarak dekat, PT Pindad ditantang salah satu petinggi TNI untuk membuat PM2, sebuah pistol metraliur yang diklaim memiliki kemampuan melebihi MP5. Ironisnya, belum ada niat pemerintah untuk membeli PM2. Beruntung, pasar luar negeri justru berminat membeli senjata saingan MP5 ini.

Pindad telah berhasil memproduksi Pistol Metraliur 1 (PM 1) berdasarkan lisensi FN Belgia. Sebagian produk PM1 digunakan kalangan prajurit TNI. Sementara PM1 modifikasi digunakan oleh Polisi Hutan, Jagawana.

PM2 merupakan pengembangan dari badan SS2. PM2 dapat memenuhi kebutuhan senjata untuk perang kota. Bahkan, Pindad berhasil mengembangkan senjata non lethal berpeluru karet yang dapat digunakan kepolisian anti huru hara.

LIPI Ditantang Kembangkan Penelitian Meteor Jatuh


Jakarta, RMOL. LAPAN Tak Sanggup Meneliti Lebih Detail

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditantang untuk mengembangkan teknologi agar bisa mendeteksi jatuhnya meteor.

Jangan hanya melakukan riset yang kelas teri saja, tapi kelas kakap seperti ini saatnya dijajaki. Soalnya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah mengibarkan bendera putih yang artinya tidak sanggup me­lakukannya.

Meteor sudah dua kali jatuh di negeri ini. Pertama, Kamis (29/4) sekitar pukul 16.00 WIB se­buah metor jatuh di Kampung Malaka, Duren Sawit, Jakarta Ti­mur. Ke­dua, benda yang di­duga me­teor ja­tuh di Pegunungan Wawo, Ka­bu­paten Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin (3/5) ma­lam.

Peneliti bidang astronomi LAPAN, Thomas Djamaluddin me­ngatakan, tidak bisa memas­ti­kan kapan meteor jatuh lagi ke bumi.

Untuk itu, LIPI diharapkan bisa mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi jatuhnya meteor.

Apalagi kinerja LIPI, bela­kangan ini semakin membaik. Buk­­tinya, LIPI mendapat ran­king 17 dari 72 instansi pemerin­tah ber­da­sarkan evaluasi Akun­tabi­litas Ki­nerja Instansi Peme­rintah (AKIP) tahun 2009 yang dila­kukan Ke­menterian Penda­ya­gu­naan Apa­ratur Negara dan Refor­masi Biro­krasi (Kemen PAN dan RB).

Begitu disampaikan pengamat kebijakan publik, Abdul Gafur Sangadji, kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

“Setelah LAPAN kibarkan ben­dera putih, apa LIPI bisa de­teksi jatuhnya meteor di kawasan Indonesia ini,’’ ujarnya (lengkap­nya baca berita: Bidang Tekno­logi Perlu Digenjot).

Sementara pemerhati kebija­kan publik lainnya, MHR Shikka Songge mengatakan, pemerintah perlu memberikan angggaran yang cukup bagi LIPI untuk me­ngembangkan riset.

“Pemerintah kurang peduli terhadap pengembangan riset, terlihat dari minimnya anggaran terhadap LIPI dan lembaga riset lainnya,” katanya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Centre for Information and Deve­lopment Studies (Cides) itu, ke­beradaan lembaga riset seperti LIPI sangat penting untuk me­ning­katkan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Sedangkan pengamat ling­kungan hidup, Teguh Surya me­ni­lai, kinerja LIPI tidak terpu­blikasi. Sebab, hasil penelitian­nya tidak pernah disampaikan ke publik.

“Hasil penelitiannya selama ini hanya dijadikan buku dan di­sim­pan. Seharusnya disosialisa­sikan ke masyarakat,” tuturnya.

“Anggarannya Malah Turun’’
Muhammad Idris Luthfi, Anggota Komisi VII DPR

Persoalan anggaran menjadi kendala bagi LIPI untuk mela­kukan riset secara maksimal.

Demikian disampaikan ang­gota Komisi VII DPR, Muham­mad Idris Luthfi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“LIPI sebagai lembaga yang dimiliki negara seharusnya mem­­punyai peran yang signifi­kan dalam melakukan riset,” katanya.

LIPI, kata dia, tidak mampu me­­yakinkan pemerintah dan DPR agar anggarannya dinaik­kan. “Yang terjadi anggarannya malah turun. Padahal bebannya banyak,” katanya.

“Jangan bandingkan LIPI dengan lembaga riset swasta. Alasannya, lembaga swasta be­kerja sesuai pesanan. Sedangkan LIPI bekerja berdasarkan kepen­tingan negara,’’ tambahnya.

“Lebih 200 Penemuan Yang Sudah Dihasilkan’’
Dedi Setia Permana, Kabiro Kerja Sama dan Permasyarakatan Iptek LIPI

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sesuai batas-batas anggaran yang di­berikan kepada lembaganya.

Hal ini dikemukakan Kepala Biro Kerja Sama dan Permasya­rakatan Ilmu Pengetahuan Tek­nologi (Kabiro KSP Iptek) LIPI, Dedi Setia Permana, kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, ke­marin.

Menurutnya, dari anggarannya sekitar Rp 500 miliar per tahun, itu juga harus dibagi untuk gaji dan lainnya. “Otomatis sekitar 30 persen penelitaan yang dilakukan LIPI,” katanya.

Walaupun begitu, kata dia, da­lam tiap tahunnya, LIPI menger­jakan ratusan penelitian. Bahkan dalam waktu dekat, LIPI akan me­­nerbitkan buku inventions, yang mengupas terobosan-tero­bosan penemuan.

“Lebih 200 penemuan yang sudah dihasilkan ada di dalam buku itu,” katanya.

Dikatakan, LIPI bergerak da­lam bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian, ilmu pe­nge­tahuan kebumian, ilmu pe­nge­tahuan hayati ilmu penge­ta­huan teknik serta yang lainnya. “Semuanya merupakan riset yang penting,” katanya.

Sebelumnya Dedi Setia Per­mana mengatakan, LIPI memba­wahi 22 lembaga penelitian. Se­muanya aktif melakukan tugas­nya masing-masing. Jadi, bisa ditebak hasilnya kayak apa.

“Intinya, sudah banyak pene­litian yang dihasilkan dan semua­nya aktual,” katanya.

LIPI, kata Dedi, sudah mem­berikan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal kebijak­sanaan ilmu pengetahuan. Misal­nya, terkait dengan gempa bumi dan tsunami. LIPI sudah mela­ku­kan pertimbangan ilmiah me­­nge­nai antisipasi jika ada gem­pa bumi.

“LIPI juga memberikan masu­kan dalam sistem pemilu yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu,’’ ujarnya.

Begitu juga, lanjutnya, untuk konflik yang terjadi di Indonesia. LIPI juga berhasil melakukan riset tentang potensi konflik dan pencegahannya.

“Semuanya sudah diberikan ke­pada pemerintah. Soal apa­kah masukan itu akan dilaksa­nakan dalam kebijakan peme­rin­tah, itu terserah Presiden,” katanya.

Menurut Dedi, LIPI meru­pa­kan lembaga pembina peneliti seluruh Indonesia. Tapi dananya masih minim. Dana litbang hanya sebesar 0,05 persen dari PDB. Sementara Singapura anggaran belanja penelitian 2,5 persen dari PDB.

“Jadi, kalau mau buat pene­litian Indonesia menjadi happy, bikin anggarannya 3 persen dari PDB,” katanya.

“Sulit Melakukan Terobosan’’
Umar S Bakry, Sekjen AROPI

Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI), Umar S Bakry mengatakan, kinerja LIPI tidak maksimal. Padahal, dari sisi SDM cukup bagus.

“Para peneliti LIPI sulit me­lakukan terobosan yang inova­tif, karena mereka terjerat oleh ram­bu-rambu lingkungannya sen­diri,” katanya kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, para peneliti yang ada di LIPI ini berada da­lam ha­bitat yang kurang tepat. Tapi, ketika mereka keluar dari habitat itu, kualitasnya keliha­tan dan nyaring.

Dikatakan, lembaga yang ada di bawah AROPI maupun LIPI sama-sama bergerak dalam bi­dang ilmu pengetahuan. Perbe­daannya, kalau LIPI di-back up pemerintah, sedangkan lem­baga yang ada di bawah AROPI ber­sifat profesional.

Harusnya, sebagai lembaga yang di-back up pemerintah, LIPI bisa menguntungkan pe­merintah, minimal sebagai se­cond opinion. “LIPI harus krea­tif, inovatif dan independen,” katanya.

“Bidang Teknologi Perlu Digenjot’’
Abdul Gafur Sangadji, Pengamat Kebijakan Publik

Kinerja Lembaga Ilmu Pe­ngetahuan Indonesia (LIPI) dalam melakukan riset dan kaji­an sudah lumayan. Namun da­lam bidang teknologi belum maksimal.

“Jadi, bidang teknologi perlu digenjot. Misalnya bagaimana bisa mendeteksi jatuhnya me­teor. Soalnya dua kali jatuh me­teor di negeri ini membuat was­was,’’ ujar pengamat kebijakan publik, Abdul Gofur Sangadji, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin

“LIPI sebagai lembaga riset resmi sudah banyak berperan dan memberikan sumbangan di bidang ilmu sosial dan tekno­logi. Tapi untuk riset bidang tek­nologi masih kurang populer,” katanya.

Gofur melihat, LIPI sebagai lembaga riset pemerintah masih kurang populer dibandingkan dengan lembaga riset swasta, misalnya Lembaga Survei In­donesia (LSI).

“Padahal LSI dalam mela­kukan survei politik, akurasi dan metodeloginya sama deng­an yang digunakan LIPI. Mere­ka kalah populer karena tidak mengejar profit,” paparnya.

Gofur yang juga dosen politik di Universitas Indonesia (UI) itu menilai, persoalan LIPI adalah minimnya anggaran dari peme­rintah dalam melakukan pe­ngem­bangan dan riset, terma­suk masih kecilnya gaji peneliti LIPI.

Kondisi ini, sambungnya, ber­beda dengan di luar negeri, dimana pemerintahnya sangat perhatian terhadap dunia riset dengan memberikan anggaran riset yang besar.

“Minimnya anggaran dan per­hatian pemerintah mem­bawa pengaruh pada perkem­bangan ilmu pengetahuan, teru­tama di bidang teknologi. Con­tohnya, masih tertinggal dalam pengembangan tenaga nuklir,” katanya.

Padahal, lanjutnya, tugas LIPI dan lembaga riset lainnya adalah memberikan dukungan dan masukan kepada pemerin­tah dalam mengambil sebuah kebijakan.

“Beda dengan zaman orde baru, di mana pemerintah sa­ngat perhatian terhadap lem­baga riset baik LIPI maupun CSIS, dalam mengambil kebi­ja­kan,” jelasnya.

Ke depan, pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk LIPI, karena lembaga ini mem­punyai peran yang penting da­lam kemajuan ilmu penge­ta­huan dan teknologi. “Dengan meningkatkannya teknologi dan pengetahuan akan berdam­pak pada peningkatan pereko­nomian,’’ ujarnya.

“Kinerjanya Cukup Baik’’
Alfan Alfian, Pengamat Politik

Pengamat politik dari Uni­versitas Nasional (Unas), Alfan Alfian mengatakan, kinerja LIPI secara keseluruhan sudah cukup baik dalam mengkaji berbagai ilmu terutama ilmu-ilmu sosil dan politik.

“Jadi, kinerjanya cukup baik,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Selain itu, lanjutnya, lembaga tersebut juga cukup aktif dalam mengkaji berbagai persoalan yang ada di masyarakat se­hingga hasilnya dapat diakses secara optimal oleh masyarakat.

“Lembaga tersebut sudah melakukan kajiannya secara profesional deh,” tambahnya.

Namun begitu, menurut pengamat politik The Akbar Tandjung Institute itu, kinerja lembaga tersebut masih me­miliki kelemahan dalam hal birokrasi.

“Mereka (LIPI) agak terjebak pada birokratisasinya yang mem­buat ruang langkahnya menjadi terbatas. Sebab, kele­mahan birokratisasinya tidak selaras dengan pengembangan ilmu dan teknologi,” tuturnya.

“Saya harap LIPI jangan sampai terjebak dengan biro­kratisasi yang akan meng­ham­bat penelitiannya,” tam­bahnya.

Disinggung apa yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kinerja LIPI menjadi lebih baik lagi, Alfan mengatakan, ada dua hal perbaikan di LIPI. Pertama, perlu dipergencar lagi upaya sosialisasi dalam hal penelitian yang sudah dicapai untuk di­sam­paikan ke masyarakat. Agar hasil penelitiannya tidak me­numpuk. Kedua, para peneliti juga harus lebih aktif lagi ber­komunikasi dengan lembaga penelitian yang lain.
[RM]

Mengikis Nalar Politik Bebal


NALAR anggota dewan memang benar-benar telah tumpul! Itulah saya kira kalimat yang tepat untuk menggambarkan perilaku para wakil rakyat terkait kengototan mereka atas rencana pembangunan gedung baru anggota dewan dengan konsep sangat mewah dan biaya yang luar biasa mahal, Rp 1,8 triliun! Itu berarti satu kamar anggota DPR senilai Rp 3,3 miliar.

Alasan klisenya: gedung yang ada saat ini sudah tidak representatif dan mengalami keretakan dan kemiringan 7 derajat. Padahal, menurut Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, kondisi gedung tidak miring dan masih aman hingga 50 tahun mendatang. Bahkan, masih lekat dalam ingatan kita bahwa baru saja renovasi gedung dilakukan dengan menelan biaya miliaran rupiah yang juga menuai kontroversi.

Itulah paradoks sekaligus ironi dalam demokrasi kita. Wakil rakyat yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan keterwakilan kerapkali perilakunya justru mencoreng wajah demokrasi. Pembangunan gedung yang menelan biaya triliunan rupiah jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut juga merupakan potret akan miskinnya empati anggota dewan atas penderitaan rakyat dan hilangnya akal budi.

Ironis memang. Di tengah kesulitan hidup dan impitan kemiskinan yang membelit sebagian besar masyarakat, kepekaan dan nurani anggota dewan dengan demikian justru patut dipertanyakan. Gelombang pengangguran kini menghadang di depan mata. Dampak pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), dari Januari hingga Maret 2010 pemutusan hubungan kerja telah mencapai 68.332 pekerja. Sementara jumlah pekerja yang dirumahkan telah mencapai 27.860. Jumlah pengangguran pun telah menyentuh angka 9,82 juta orang.

***

Menyikapi kondisi gawat seperti itu, langkah yang seharusnya dilakukan anggota dewan adalah bagaimana membuat regulasi-regulasi yang dapat memberikan daya hidup kepada rakyat, bukan justru menghambur-hamburkan uang negara untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak urgen. Sementara, pada saat bersamaan, kinerja para anggota dewan dalam menelurkan regulasi-regulasi masíh sangat memprihatinkan. Begitu pula integritas mereka yang hancur akibat skandal korupsi yang terus dipertontonkan dengan telanjang

Kita tentu tidak sedang mengadili anggota dewan. Tetapi, pada situasi seperti ini sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sebuah tindakan yang tepat serta kepekaan dan empati untuk menyikapi masalah. Apa pun kebijakan yang hendak diambil, apalagi yang menyedot anggaran negara begitu besar, selayaknya juga harus meletakkan pembenaran etis sebagai dasar penting atas munculnya sebuah kebijakan. Kita butuh landasan etika dalam berpolitik.

Dalam konteks itulah, saya kira tepat apa yang dikatakan Eric Weil (1956) bahwa dimensi moral merupakan dasar rasionalitas paling utama dalam sebuah kegiatan politik berikut kebijakan yang dilahirkan. Dari titik tolak itulah setiap kebijakan yang diproduksi tidak boleh hanya dipasok dari segi-segi yang amat pragmatis, tetapi ada landasan etis yang membimbingnya.

Sikap anggota dewan yang tetap ngotot ingin membangun gedung mewah di tengah penderitaan rakyat jelas merupakan sikap politik yang bebal. Kita lantas bertanya, apakah tindakan itu diambil karena mereka selama ini merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyatnya? Lebih celaka lagi, apabila di balik proyek tersebut terdapat praktik markup akut yang saldonya dibagi secara proporsional kepada setiap pihak yang terlibat dalam "operasi".

Pertanyaan selanjutnya, lalu di mana letak keberpihakan terhadap rakyat yang merasa telah diwakilinya? Tak ada sangkut pautnya! Sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan impitan hidup saat ini kondisinya mirip orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.

Ombak kecil itu saat ini berupa kemiskinan yang terdedah di depan mata, gelombang PHK yang terjadi di mana-mana, pengangguran yang terus membengkak, sulitnya mencari lapangan kerja, harga-harga kebutuhan pokok yang tetap bertengger tinggi, biaya kesehatan yang terus melangit, serta persoalan-persoalan lain yang dengan mudah menenggelamkan mereka yang selama ini terpinggirkan secara politik, sosial, dan terlebih secara ekonomi.

Banyak persoalan kemiskinan yang membuat kita miris dan menyayat nurani. Gizi buruk melanda anak-anak bangsa di pelosok negeri di tengah iklan partai politik yang menelan miliaran rupiah. Ketimpangan pembagunan begitu mencolok antarwilayah. Masyarakat miskin dipaksa bertarung melawan ganasnya liberalisasi pasar tanpa proteksi negara yang mengawalnya.

***

Mencermati berbagai persoalan tersebut, yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan yang benar-benar berpihak rakyat, bukan akrobat politik para politikus yang membosankan. Kita muak dengan "panggung teater" politisi yang hanya menampilkan citra, kesan, dan topeng manisnya. Sudah saatnya kita mengikis dan membabat habis nalar politik culas dan bebal yang ingin selalu mentransaksikan seluruh urusan negara atas nama wakil rakyat. Persoalan rakyat bukanlah komoditas layaknya tas, busana, atau TV, tetapi ia ikut pula menentukan bagaimana sesungguhnya bangsa ini memperlakukan dirinya sendiri dan juga rakyatnya.

Ruang-ruang perdebatan publik tidak boleh kita biarkan hanya diisi dan disesaki oleh persoalan-persoalan hiruk pikuk politik semata, urusan cabup/cawabup yang bertarung dalam pilkada, atau artis yang mencoba keberuntungan lewat panggung politik. Ada yang lebih mendasar dari itu semua, yakni menyangkut persoalan-persoalan yang bersinggungan langsung dengan kondisi riil masyarakat.

Karena itu, seperti pernah ditulis Marion (2000), otoritas yang begitu besar yang dimiliki anggota dewan sebagai penentu kebijakan harus dikontrol dan dipastikan bahwa ia dijalankan untuk fungsi keterwakilan, bukan untuk kepentingan para anggotanya. Itu berarti proses-proses politik yang hanya terlokalisasi pada sekelompok kecil elite harus mulai dikikis karena sangat rentan dengan penyimpangan.

Terkait dengan proyek pembangunan gedung baru anggota dewan, tampaknya tegas harus dikatakan bahwa kebijakan yang tak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat dan hanya menghambur-hamburkan uang negara itu harus dihentikan! Banyak persoalan bangsa yang lebih urgen mendapat prioritas penyelesaiannya. (*)

*). Achmad Maulani, peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada

Pengganti Sri Mulyani Harus Pro-Rakyat


Desas-desus wacana mengenai pengisi jabatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus bergulir. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif memiliki sebuah syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh pengganti Sri Mulyani, siapa pun orangnya.

"Penggantinya harus pro-rakyat. Itu saja," kata Syafii Maarif saat ditemui seusai memberi ceramah dalam diskusi bertajuk "Transisi Menuju Demokrasi" di Kolese Kanisius, Jakarta, Minggu (9/5/2010).

Meski banyak calon yang mengemuka, Buya mengatakan tidak mempersoalkan siapa sosok yang paling tepat. Ia menilai, masalah latar belakang, apakah dari kalangan profesional atau politisi, yang paling utama justru dari aspek kebijakannya yang mementingkan kebutuhan rakyat banyak.

Saat ditanya mengenai kepergian Sri Mulyani karena harus menjabat di Bank Dunia, Syafii enggan banyak berkomentar. Ia menilai ada banyak hal yang terjadi sehingga tidak bisa dinilai begitu saja. "Saya tidak banyak mengerti. Saya tidak tahu mengapa begitu. Saya tidak bisa katakan ini begini, ini begitu," ujarnya.

Mencari Perempuan Vokal di DPR


Pada saat Komisi III DPR RI memanggil pihak-pihak yang terkait dalam kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, yang tampak vokal adalah para anggota dewan yang kebetulan berjenis kelamin pria. Seperti Fachri Hamzah, Benny K Harman, atau T Gayus Lumbuun.

Padahal kalau melihat daftar anggota komisi III banyak juga anggota-anggota perempuan seperti Peggi Patricia Pattipi (PKB),Susaningtyas Nefo Handayani K (Hanura), Hj Himmatul Alyah Setyawaty (Demokrat), atau Hj Dewi Asmara SH (Partai Golkar).

Harus diakui wacana di parlemen memang dikuasai oleh para legislator pria yang memang mayoritas menguasai kursi parlemen tampaknya ’’lebih siap’’ sebagai wakil rakyat. Hanya beberapa anggota dewan perempuan yang mampu ’’mencuri’’ perhatian dengan berbagai pernyataan yang menggelitik.

Di antaranya adalah dr Ribka Tjiptaning Ploretariyati, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) yang menjadi Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014 yang membidangi masalah kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi ini dikenal sebagai anggota dewan yang sering jadi incaran wartawan karena berbagai pernyataan-pernyataan yang memang layak untuk dikutip.

Seperti sikap kritisnya terhadap menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Bagi Ribka, memimpin komisi IX merupakan kesempatan kedua karena pada masa bhakti periode 2004-2009, Ribka juga mempimpin Komisi IX.

Ribka memang tidak hanya bisa mengkritisi soal-soal yang berkaitan dengan kesehatan, tapi juga cukup mampu bicara tentang masalah perburuhan maupun kependudukan yang memang jadi bagian kerja komisinya.

Memang kalau melihat masa kerja DPR RI periode 2009-2014 yang baru dilantik bulan lalu ini belum bisa jadi ukuran kalau para perempuan yang menjadi wakil rakyat di Senayan periode ini yang vokal hanya Ribka Tjiptaning. Kemungkinan para perempuan parlemen lain juga akan mampu menarik perhatian dengan berbagai pernyataan yang menarik.

Dengan begitu suara-suara yang muncul dari gedung DPR RI di Senayan tidak hanya suara-suara para anggota parlemen laki-laki saja.

Harapan anggota DPR RI perempuan bersuara masih ada. Kita lihat masih ada Rieke Diah Pitaloka, artis dan aktivis perempuan yang juga dari FPDIP dan oleh fraksinya juga ditempatkan di Komisi IX.

Harapan sebagai vokalis perempuan juga tertuju pada Nova Riyanti Yusuf, aktivis perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili Partai Demokrat dan oleh partainya ditempatkan di Komisi IX.

Dari Partai Demokrat para perempuan yang mengisi kursi DPR RI, seperti Hj Vera Febyanty, Dr Indrawati Sukadis, Inggrid Maria Palupi Kansil, Hj Meilani Leimena Suharli dan sejumlah kader perempuan Partai Demokrat tentu diharapkan tidak hanya sekadar duduk tapi juga mampu menyuarakan suara rakyat yang diwakilinya.
Artis Artis Nurul Arifin yang menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar dan ditempatkan di Komisi II tentu diharapkan mampu menjadi penyambung lidah rakyat di Senayan.

Untuk jadi vokalis Senayan, tampaknya Nurul memang punya banyak modal, selain banyak tampil berbicara di berbagai seminar-seminar, juga aktif dalam berbagai kegiatan untuk kesetaraan gender dan penanggulangan HIV /AIDS.

Dari Partai Keadilan Sejahtera ada Dra Yoyoh Yusroh yang oleh partainya ditempatkan di Komisi 8. Politisi yang dikenal sebagai ustadzah ini pada periode lalu dikenal cukup mewarnai parlemen.

Bahkan ada salah satu stasiun televisi swasta yang menempatkan Dra Yoyoh Yusroh sebagai salah satu Kartini Politik, selain Yoyoh dari PKS ada Hj Ledia Hanifa Amalia.

Di Partai Amanat Nasional (PAN) ada Hj Nidalia Djohansyah Makki, yang selain dikenal sebagai pengusaha juga merupakan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dra Mardiana Indraswati, Ratu Munawarah Zulkifli dan Wa Ode Nurhayati.

Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ada Dra Hj Okky Asokawati yang sebelumnya aktif sebagai peragawati, foto model dan penulis. Ia oleh partainya ditempatkan di Komisi IX, kemudian Irna Narulita, Dra Hj Wardatul Asriah, Reni Marlinawati, dan Hj Norhasanah, MSi.

Untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada Hj Lili Chodidjah Wachid, adik kandung KH Abdurachman Wachid, tokoh perempuan NU yang dikenal kenyang pengalaman berorganisasi.

Di DPR RI, Hj Lili Chodidjah Wachid ditempatkan di Komisi I, komisi yang di antaranya pertahanan, politik keamanan dan hubungan luar negeri.

Srikandi PKB di DPR yang lain adalah Hj Masitah SAg, Hj Ida Fauziah,Hj Anna Muawanah dan Peggy Patricia Patipi.

Untuk Partai Gerakan Indonesia Raya(Gerindra) harapan vokalis perempuan bisa muncul dari Rachel Maryam Sayidina.

Rachel sebelumnya dikenal sebagai artis ini oleh partainya ditempatkan di Komisi I, Putih Sari SKG, Noura Dian Hartarony yang berada di Komisi X dan Hj Mestariani Habie yang ditempatkan di Komisi II.

Untuk Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) harapan vokalis tertumpu pada Dra Hj Soemintarsih Muntoro yang berada di Komisi I, Miryam S Haryani yang berada di Komisi II dan Susdaningtyas Nefo Handayani di Komisi III.

Memang kevokalan seorang anggota dewan tidak hanya ditentukan oleh seringnya mengeluarkan pernyataan dan pernyataan itu dikutip media.

Tapi berbagai statemen yang muncul dari anggota dewan yang sering muncul itu juga bisa menunjukkan kualitas sang anggota dewan, termasuk juga memperlihatkan keberpihakannya pada rakyat yang diwakili.

Sebagai rakyat kita berharap memang dari para perempuan yang duduk di dewan itu bisa lahir SK Trimurti baru, Aisyah Amini baru atau vokalis macam Roekmini Koesoma Astoeti, yang sempat tercatat sebagai vokalis perempuan yang disegani pada zamannya. (Hamid Nuri, pemerhati masalah sosial, tinggal di Yogyakarta-80)