Sabtu, 14 Maret 2009

Mencontreng


Putu Setia

Ada kursus mencontreng di kampung saya. Penyelenggaranya calon legislator. Komisi Pemilihan Umum sama sekali tak terlibat dalam urusan ini. Justru kursus ini diadakan setelah Komisi membuat sosialisasi yang hasilnya: 70 persen suara tidak sah.

Peserta kursus lebih banyak ibu-ibu, usianya sekitar 50 tahun ke atas. Mereka umumnya tak begitu lancar membaca dan menulis. Ketika sosialisasi diselenggarakan, mereka kebingungan. Padahal kertas suara hanya berisi lima partai, tapi ukurannya sama besar dengan yang dipakai pada pemilu nanti.

Membuka dan melipat surat suara yang sebesar koran itu saja sudah bikin pusing karena bilik pencontrengan kurang luas. Ada yang sampai bersimpuh, ada yang menempelkannya dulu ke dinding. Jika lipatan kurang bagus, tak bisa masuk ke kotak suara, lubang kotak kekecilan. Kalau dipaksakan, surat suara robek, jadi tak sah.

KPU mendapat masukan bagaimana ukuran ideal bilik suara, termasuk lebar lubang kotak suara. Namun, Komisi merasa tak perlu bertanggung jawab jika masih terjadi salah contreng. Alasannya, masyarakat sudah tahu.

Tahu apa yang dicontreng, namun tak tahu "teknik" mencontreng. Orang kampung itu asing dengan pulpen dan alat tulis sejenis. Untuk memegang saja perlu latihan berkali-kali. "Saya sehari-hari pegang pisau, sekarang pegang pulpen, ya, tak bisa," kata seseorang. Pemilu sebelumnya sangat gampang karena mencoblos. Bagaimanapun cara memegang paku pencoblos, yang penting kan ada lubangnya. Sekarang, kalau memegang pulpen tidak benar, contrengan jadi tak pas dan kebanyakan melewati garis pemisah nomor. Ini tak sah karena contrengan mengenai dua nama calon.

"Kenapa tak mencontreng gambar partai saja, kan lebih mudah karena ruangnya lebih besar," tanya saya kepada penyelenggara kursus. Jawabnya: "Saya bisa rugi, itu kan suara mengambang, ini tarung bebas, saya harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya."

Saya jadi maklum, karena dari tiga "kursus mencontreng" itu, dua penyelenggara dari partai yang sama tapi dengan caleg berbeda. Satu untuk nomor 4, satu lagi nomor 7. Peserta memang sudah diarahkan untuk mencontreng nomor urut itu. Mereka juga dibekali kartu sebesar kartu nama yang mengingatkan perihal kolom partai dan nomor yang dicontreng. Ketika latihan, ibu-ibu desa itu asyik menghafal angka yang akan dicontreng.

Kenapa, sih, ibu-ibu? Konon, pemilih muda tak mudah "dipegang". Mereka kesannya "antipemilu". Baliho caleg dicorat-coret, wajah manis perempuan diberi kumis dan cambang, wajah-wajah ganteng ditulisi kata: gombal, penipu, pemeras. Mereka mengaku akan jadi golput, terpengaruh oleh media massa yang menyoroti betapa buruknya perilaku anggota Dewan. Sedangkan mereka yang lebih dewasa dan keluarga mapan mengaku lebih baik sembahyang ke Pura Besakih daripada mencontreng. Maklum, 9 April nanti adalah puncak upacara Panca Wali Krama, ritual sepuluhtahunan.

Kursus ini ada daya tariknya. Selama tiga hari kursus, mereka mendapat sebungkus kue dan sebungkus nasi. Lalu, ada janji, jika saat pemilu nanti pelajaran di "kursus" itu benar, mereka mendapat "upah" Rp 50 ribu. Variasi upah berbeda di setiap tempat kursus, Rp 50 ribu itu angka terendah.

Saya semakin yakin, pemilu nanti adalah pemilu yang paling rumit di dunia: sistem yang cerdas untuk masyarakat yang bodoh. Partai politik yang terbesar di Bali (contoh yang hampir nyata) tetap akan mendapat urutan ketiga, karena pemenang pertama adalah suara tak sah, dan pemenang kedua golput. Tolonglah ada yang bergerak, supaya keyakinan saya tak terbukti, mumpung masih ada waktu.

Tidak ada komentar: