Jumat, 03 Juli 2009

Kepemimpinan Bermoral




Jakarta - Sebuah artikel yang berjudul Jatuh dan Bangkitnya Kekaisaran Romawi secara gamblang menjelaskan bahwa bangkit dan jatuhnya peradaban Romawi adalah karena persoalan moral. Bangsa Romawi mampu menjadi bangsa besar karena dorongan moral untuk menjadi bangsa yang besar. Pada sisi lain kejayaan Bangsa romawi juga runtuh karena persoalan ambruknya moral bangsa romawi kala itu.

Sebenarnya masalah kebangsaan kita dimulai dari persoalan moral anak-anak bangsa yang umumnya berpikir semua tidak ingin menjadi pekerja. Semua mengagungkan kuasa dan kekuasaan. Jarang sekali perjuangan ditempuh dengan jalan normal. Semua ingin instan. Para politisi ingin menjadi mashur dengan jalan yang instan dan yang tejadi kemudian etika politik tidak lagi dilibatkan dalam hatinya ketika berkuasa.

Begitu pun para birokrat yang meniadakan lagi logika Merit System sehingga istilah lawas ABS (Asal Bapak Senang) menjadi senandung harian dalam wajah kompetisi para birokrat tersebut. Cermin lain terlihat dari bagaimana para politisi dan birokrat tersebut menggunakan fasilitas publik.

Jalan raya misalkan. Ketika para pejabat tersebut berkendaraan semua jalan mesti steril. Sirine mobil pengawal membahana ke udara. Kendaraan rakyat jelata mesti menepi menunggu kendaraan para pejabat tersebut lewat.

Sebenarnya ini bukti bahwa bangsa ini sedang dalam krisis moral. Para wakil rakyat tidak menyadari fungsi mereka sebagai agen yang mewakili suara rakyat. Para birokrat tidak menyadari fungsi mereka sebagai pelayan masyarakat.

Dalam pandangan dan sejarah keagamaan Islam pun melahirkan antitesa seperti itu, kejayaan umat Islam secara naluriah, juga disebabkan oleh keingian kuat pendahulu-pendahulu Islam untuk maju dan berbuat kebajikan bagi umat yang lain.

Khalifah Umar bin Khatab misalkan memberikan sebuah contoh bagaimana menjadi seorang Amirul Mukminin yang amanah. Beliau rela untuk mengangkat sendiri gandum hanya untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan.

Contoh lain misalkan bagaimana seorang Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, yang
memberikan penghasilannya sebagai presiden kepada rakyat. Rela tidak menggunakan jas bermerk karena turut berempati dengan kondisi rakyat Iran. Memiliki rumah yang tidak lebih seukuran rumah sangat sederhana. Bahkan, berpikir efisien ketika mengadakan kunjungan ke luar negeri dengan tidak mengikutsertakan para pejabat yang tidak bersinggungan secara langsung dengan rencana kerja kenegaraannya.

Tradisi di Jepang dan Cina juga patut ditiru. Beberapa waktu yang lalu misalkan seorang pejabat tinggi Jepang mengundurkan diri karena ketahuan lalai dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Seorang Gubernur di Cina misalkan mengundurkan diri bahkan dihukum berat ketika ketahuan melakukan pidana korupsi.

Dari negara tetangga jiran Malaysia misalkan. Sudah menjadi kebiasaan di Malaysia seorang Menteri Besar (Gubernur-red) berkendaraan sendiri dan terkadang menghampiri kedai-kedai kopi untuk berdiskusi dan berbincang dengan rakyatnya mengenai berbagai hal bagi kemajuan negerinya.

Bahkan, seorang Mahathir Mohammad yang kala itu masih menjabat sebagai Perdana
Menteri dapat berjalan santai di pusat perbelanjaan KLCC (Kuala Lumpur City Center) tanpa menggunakan pengawalan yang super ketat ala VVIP (Very-Very Important Person).

Di Inggris misalkan. Sudah menjadi kebiasaan para anggota parlemen menggunakan transportasi umum untuk pergi ngantor. Perilaku yang sama juga ditunjukkan para anggota parlemen di Singapura. Bahkan, di Singapura ada sebuah program yang merupakan sebuah tradisi dan harus dilakukan oleh para anggota parlemen.

Program tersebut disebut sebagai meet the people. Ada hari-hari khusus bagi konstituen untuk dapat menemui secara langsung anggota parlemen yang mewakili distriknya berdialog mengenai berbagai hal sampai dengan hal yang sifatnya private.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan perilaku para pemegang kekuasaan di negara ini. Ilustrasi diatas mengenai sosok Umar bin Khatab, Mahmoud Ahmadinejad, Mahathir Mohammad, Anggota Parlemen di Inggris dan Singapura adalah sebuah ilustrasi kesederhanaan yang hakiki. Sebuah tanggung jawab yang lahir dari moral yang teruji dan keinginan moral yang kuat untuk menjadikan bangsa mereka berdiri tegak dan berwibawa di mata dunia.

Padahal jika hura-hura pejabat sebuah negara tersebut diukur dari GNP (Gross
National Product) yang diakui oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menjadi sebagai salah satu ukuran kesejahteraan sebuah negara, maka Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Jangankan dengan Inggris, Singapura misalkan, GNP yang mencapai lebih dari US$ 23.000 tidaklah membuat perilaku pejabatnya lupa akan keharusan menjadi pelayan rakyat.

Pada akhirnya itulah yang tergambar dari pandangan seorang Indonesianis Benedict Anderson, Is Asian Nationalism Unique? Apakah Nasionalisme Asia Unik? jawabnya tidak, yang unik adalah perilaku elit politik bangsa yang terkadang lupa kacang atas kulitnya.

Arizka Warganegara MA
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Jl Soemantri Brodjonegoro No 1 Bandar Lampung
arizka@unila.ac.id
081279290888

Tidak ada komentar: