Jumat, 03 Juli 2009

Suara Luar Jawa

Meskipun terkait dengan masalah suara, namun tulisan kali bukan mengenai pemilu yang sedang ramai kita jalani dan dukung bersama demi kemajuan bersama.

Tetapi terkait dengan kritik membangun dari rekan Mathias Wenda yang mengeluhkan soal dominasi orang Jawa dan ketidakadilan yang menimpa suku-suku di luar Jawa. Namun kita juga tidak dapat mendekati persoalan ini secara sembrono sebelum mayoritas bangsa Indonesia mencapai pemahaman yang utuh tentang hakikat kebhinnekaan dalam satu kesatuan kebangsaan.

Mengapa demikian ?
Intelijen telah lama menggarisbawahi perlunya pembangunan karakter bangsa yang tidak membeda-bedakan berdasarkan etnis, ras, golongan maupun agama. Diperlukan suatu....

kesungguhan untuk secara terus-menerus membangun ikatan persaudaraan yang kuat serta adil dalam kerangka pembangunan nasional.

Kita telah mengalami begitu banyak luka-luka dan kematian sebagai akibat dari arogansi etnisitas maupun golongan. Kita juga telah berkali-kali dituduh sebagai bangsa yang "kurang beradab" karena kasus-kasus pelanggaran HAM dan diskriminasi ras. Kita bahkan mulai kehilangan sifat-sifat luhur nan mulia yang tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa di Nusantara baik dari Aceh sampai Papua, yakni sifat ksatria dan menjunjung tinggi harkat martabat sesama umat manusia dalam kerangka persahabatan.

Kita telah melalui ribuan perang sejak zaman kerajaan, telah banyak kematian dan telah banyak dendam maupun sakit hati yang tak terobati. Namun kita juga sering lupa bahwa kita telah melalui begitu banyak rintangan dalam perjalanan sebagai sebuah bangsa yang besar. Akibatnya kita merasa kecil, kemudian kehilangan sifat ksatria, bahkan mulai pengecut dan hidup dalam ketidakamanan (insecurity) dimana kecurigaan terbesar justru sesama anak bangsa Indonesia.

Rekan Mathias Wenda saya duga berasal dari Propinsi Papua atau Papua Barat, tentunya paham bila saya membahas masalah perang suku yang masih sering terjadi di tanah damai Papua. Tentunya juga paham bahwa integrasi Papua ke dalam Indonesia Raya secara legal dalam hukum internasional masih dihantui masalah. Pada satu sisi, saya juga melihat adanya perilaku yang korup dari pemerintahan Indonesia Raya yang mana hal itu disebabkan terbukanya kesempatan yang terlalu besar sebagai akibat lemahnya sistem hukum dan pengawasan. Pada sisi lain, perilaku perlawanan sebagian saudara kita di Papua, Aceh, Ambon, dan dahulu Timor-Timur ternyata tidak sungguh-sungguh diselesaikan secara segera karena sikap meremehkan pentingnya dialog.

Suasana tersebut merupakan warisan perjalanan revolusioner Indonesia pada era kemerdekaan, ditambah model militerisme era Orde Baru, dan sekarang sedang dicari formula yang terbaik untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia , ingat itu untuk seluruh rakyat Indonesia dan bukan secara khusus untuk orang Jawa.

Di tanah Jawa sendiri, masih tersimpan dendam masa lalu dari ujung Timur hingga Barat. Masih terasa adanya arogansi "rasa lebih tinggi" yang mana hal itu merupakan racun yang dahsyat bagi persaudaraan dan persatuan yang kuat. Saya telah melakukan perjalanan yang cukup jauh dari berbagai peradaban, tampak jelas bahwa terjadi kemandegan atau minimal kelambatan perkembangan sosial di Indonesia dan khususnya di Jawa.

Sebagai keturunan Jawa, saya sendiri sungguh merasa malu (wirang) karena sangat jarang bertemu dengan satria tanah Jawa yang mampu mengayomi Nusantara. Tetapi sangat sering bertemu penipu sombong yang mengaku-aku sebagai satria, padahal merusak persatuan bangsa Indonesia karena kesombongannya. Hal ini tidak berarti satria tanah Jawa sudah punah, tetapi yang saya lihat adalah lunturnya budaya dan etika yang dijunjung tinggi dengan sumpah lahir dan bathin. Namun sejujurnya perlu juga kita berkaca dan menyadari, bahwa masalah ini bukan khas ada di dalam suku Jawa melainkan merupakan penyakit di Nusantara yang karena kebetulan terbanyak diwarnai suku Jawa maka kelihatan sebagai pelaku dimana-mana.

Warna kebangsaan Indonesia sudah semakin dominan ketika sistem pendidikan nasional semakin mantap sejak keberhasilan pembanguna era 70-80an. Namun hal itu tidak mendalam karena tidak disertai proses pemahaman dan sisi praktis dari manfaat berperilaku sebagai orang Indonesia yang baik. Ketidakadilan dan penindasan menyebabkan kita sesama orang Indonesia tidak merasa sebagai orang Indonesia, akibatnya lahirlah kembali semangat etnisitas (kesukuan).

Tidak ada yang salah dengan semangat kesukuan sepanjang itu tidak disertai semangat untuk bermusuhan atau merasa yang paling tinggi/hebat/berkuasa. Adalah fitrahnya setiap insan untuk berafiliasi kepada salah satu suku yang merupakan bawaan lahir dari orang tua kita.

Saling menghormati dan persaudaraan tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan atau penindasan, tetapi harus lahir dari kesadaran bahwa ada aturan main yang jelas dalam menciptakan masyarakat yang adil.

Dalam cita-citanya, Indonesia Raya setiap pagi berdoa untuk keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan seluruh rakyat Indonesia. Lalu mengapa ketidakadilan, ketidaksejahteraan, dan unsur kurang manusiawi justru lebih dominan?

Ketika kita berhadapan langsung dengan sesama anak bangsa Indonesia yang sangat berbeda secara etnis, mengapa prasangka yang lebih dominan? Mengapa stereotipe yang lebih bekerja di otak kita? Mengapa bukan saling percaya? Mengapa pula bukan keyakinan akan adanya perasaan keIndonesiaan yang kuat sesama kita?

Ketika kita dalam pergaulan sosial yang berbeda agama, mengapa kita lebih mempersoalkan perbedaan daripada kerjasama? mengapa kita menjadi was-was satu sama lain? mengapa kita merasa tidak aman? mengapa saling percaya sangatlah lemah?

Diperlukan suatu transformasi sosial secara massal di seluruh wilayah Indonesia untuk menciptakan keadilan. Marilah kita koreksi sikap-sikap kita dalam prasangka etnis/suku, dan stereotipe. Marilah kita mulai lagi persaudaraan Indonesia dalam kesetaraan dan marilah kita buat aturan main yang mengawasi perilaku-perilaku sembrono yang dapat memecah-belah Indonesia Raya.

Semoga siapapun rekan-rekan dari suku manapun dan kepercayaan apapun rela bersedia menyebarluaskan pemikiran ini sehingga kita bersama-sama dapat membawa perubahan nyata untuk Indonesia Raya.

Indonesia sebelumnya tidak pernah ada, tetapi berkat mimpi keadilan sosial bagi seluruh penghuni nusantara kita membangun persaudaraan Indonesia. Apakah ide Indonesia Raya tersebut harus terkubur karena kita tidak waspada dengan kelemahan kita sendiri? Lalu bagaimana kita akan mampu bersaing di dunia internasional apabila sesama anak bangsa Indonesia berkelahi tanpa ada akhirnya?
http://intelindonesia.blogspot.com/2009/04/suara-luar-jawa.html

Tidak ada komentar: