Minggu, 09 Mei 2010
LIPI Ditantang Kembangkan Penelitian Meteor Jatuh
Jakarta, RMOL. LAPAN Tak Sanggup Meneliti Lebih Detail
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditantang untuk mengembangkan teknologi agar bisa mendeteksi jatuhnya meteor.
Jangan hanya melakukan riset yang kelas teri saja, tapi kelas kakap seperti ini saatnya dijajaki. Soalnya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah mengibarkan bendera putih yang artinya tidak sanggup melakukannya.
Meteor sudah dua kali jatuh di negeri ini. Pertama, Kamis (29/4) sekitar pukul 16.00 WIB sebuah metor jatuh di Kampung Malaka, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kedua, benda yang diduga meteor jatuh di Pegunungan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin (3/5) malam.
Peneliti bidang astronomi LAPAN, Thomas Djamaluddin mengatakan, tidak bisa memastikan kapan meteor jatuh lagi ke bumi.
Untuk itu, LIPI diharapkan bisa mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi jatuhnya meteor.
Apalagi kinerja LIPI, belakangan ini semakin membaik. Buktinya, LIPI mendapat ranking 17 dari 72 instansi pemerintah berdasarkan evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) tahun 2009 yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN dan RB).
Begitu disampaikan pengamat kebijakan publik, Abdul Gafur Sangadji, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Setelah LAPAN kibarkan bendera putih, apa LIPI bisa deteksi jatuhnya meteor di kawasan Indonesia ini,’’ ujarnya (lengkapnya baca berita: Bidang Teknologi Perlu Digenjot).
Sementara pemerhati kebijakan publik lainnya, MHR Shikka Songge mengatakan, pemerintah perlu memberikan angggaran yang cukup bagi LIPI untuk mengembangkan riset.
“Pemerintah kurang peduli terhadap pengembangan riset, terlihat dari minimnya anggaran terhadap LIPI dan lembaga riset lainnya,” katanya.
Menurut Sekretaris Eksekutif Centre for Information and Development Studies (Cides) itu, keberadaan lembaga riset seperti LIPI sangat penting untuk meningkatkan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pengamat lingkungan hidup, Teguh Surya menilai, kinerja LIPI tidak terpublikasi. Sebab, hasil penelitiannya tidak pernah disampaikan ke publik.
“Hasil penelitiannya selama ini hanya dijadikan buku dan disimpan. Seharusnya disosialisasikan ke masyarakat,” tuturnya.
“Anggarannya Malah Turun’’
Muhammad Idris Luthfi, Anggota Komisi VII DPR
Persoalan anggaran menjadi kendala bagi LIPI untuk melakukan riset secara maksimal.
Demikian disampaikan anggota Komisi VII DPR, Muhammad Idris Luthfi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“LIPI sebagai lembaga yang dimiliki negara seharusnya mempunyai peran yang signifikan dalam melakukan riset,” katanya.
LIPI, kata dia, tidak mampu meyakinkan pemerintah dan DPR agar anggarannya dinaikkan. “Yang terjadi anggarannya malah turun. Padahal bebannya banyak,” katanya.
“Jangan bandingkan LIPI dengan lembaga riset swasta. Alasannya, lembaga swasta bekerja sesuai pesanan. Sedangkan LIPI bekerja berdasarkan kepentingan negara,’’ tambahnya.
“Lebih 200 Penemuan Yang Sudah Dihasilkan’’
Dedi Setia Permana, Kabiro Kerja Sama dan Permasyarakatan Iptek LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sesuai batas-batas anggaran yang diberikan kepada lembaganya.
Hal ini dikemukakan Kepala Biro Kerja Sama dan Permasyarakatan Ilmu Pengetahuan Teknologi (Kabiro KSP Iptek) LIPI, Dedi Setia Permana, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, dari anggarannya sekitar Rp 500 miliar per tahun, itu juga harus dibagi untuk gaji dan lainnya. “Otomatis sekitar 30 persen penelitaan yang dilakukan LIPI,” katanya.
Walaupun begitu, kata dia, dalam tiap tahunnya, LIPI mengerjakan ratusan penelitian. Bahkan dalam waktu dekat, LIPI akan menerbitkan buku inventions, yang mengupas terobosan-terobosan penemuan.
“Lebih 200 penemuan yang sudah dihasilkan ada di dalam buku itu,” katanya.
Dikatakan, LIPI bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian, ilmu pengetahuan kebumian, ilmu pengetahuan hayati ilmu pengetahuan teknik serta yang lainnya. “Semuanya merupakan riset yang penting,” katanya.
Sebelumnya Dedi Setia Permana mengatakan, LIPI membawahi 22 lembaga penelitian. Semuanya aktif melakukan tugasnya masing-masing. Jadi, bisa ditebak hasilnya kayak apa.
“Intinya, sudah banyak penelitian yang dihasilkan dan semuanya aktual,” katanya.
LIPI, kata Dedi, sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal kebijaksanaan ilmu pengetahuan. Misalnya, terkait dengan gempa bumi dan tsunami. LIPI sudah melakukan pertimbangan ilmiah mengenai antisipasi jika ada gempa bumi.
“LIPI juga memberikan masukan dalam sistem pemilu yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu,’’ ujarnya.
Begitu juga, lanjutnya, untuk konflik yang terjadi di Indonesia. LIPI juga berhasil melakukan riset tentang potensi konflik dan pencegahannya.
“Semuanya sudah diberikan kepada pemerintah. Soal apakah masukan itu akan dilaksanakan dalam kebijakan pemerintah, itu terserah Presiden,” katanya.
Menurut Dedi, LIPI merupakan lembaga pembina peneliti seluruh Indonesia. Tapi dananya masih minim. Dana litbang hanya sebesar 0,05 persen dari PDB. Sementara Singapura anggaran belanja penelitian 2,5 persen dari PDB.
“Jadi, kalau mau buat penelitian Indonesia menjadi happy, bikin anggarannya 3 persen dari PDB,” katanya.
“Sulit Melakukan Terobosan’’
Umar S Bakry, Sekjen AROPI
Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI), Umar S Bakry mengatakan, kinerja LIPI tidak maksimal. Padahal, dari sisi SDM cukup bagus.
“Para peneliti LIPI sulit melakukan terobosan yang inovatif, karena mereka terjerat oleh rambu-rambu lingkungannya sendiri,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, para peneliti yang ada di LIPI ini berada dalam habitat yang kurang tepat. Tapi, ketika mereka keluar dari habitat itu, kualitasnya kelihatan dan nyaring.
Dikatakan, lembaga yang ada di bawah AROPI maupun LIPI sama-sama bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan. Perbedaannya, kalau LIPI di-back up pemerintah, sedangkan lembaga yang ada di bawah AROPI bersifat profesional.
Harusnya, sebagai lembaga yang di-back up pemerintah, LIPI bisa menguntungkan pemerintah, minimal sebagai second opinion. “LIPI harus kreatif, inovatif dan independen,” katanya.
“Bidang Teknologi Perlu Digenjot’’
Abdul Gafur Sangadji, Pengamat Kebijakan Publik
Kinerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam melakukan riset dan kajian sudah lumayan. Namun dalam bidang teknologi belum maksimal.
“Jadi, bidang teknologi perlu digenjot. Misalnya bagaimana bisa mendeteksi jatuhnya meteor. Soalnya dua kali jatuh meteor di negeri ini membuat waswas,’’ ujar pengamat kebijakan publik, Abdul Gofur Sangadji, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin
“LIPI sebagai lembaga riset resmi sudah banyak berperan dan memberikan sumbangan di bidang ilmu sosial dan teknologi. Tapi untuk riset bidang teknologi masih kurang populer,” katanya.
Gofur melihat, LIPI sebagai lembaga riset pemerintah masih kurang populer dibandingkan dengan lembaga riset swasta, misalnya Lembaga Survei Indonesia (LSI).
“Padahal LSI dalam melakukan survei politik, akurasi dan metodeloginya sama dengan yang digunakan LIPI. Mereka kalah populer karena tidak mengejar profit,” paparnya.
Gofur yang juga dosen politik di Universitas Indonesia (UI) itu menilai, persoalan LIPI adalah minimnya anggaran dari pemerintah dalam melakukan pengembangan dan riset, termasuk masih kecilnya gaji peneliti LIPI.
Kondisi ini, sambungnya, berbeda dengan di luar negeri, dimana pemerintahnya sangat perhatian terhadap dunia riset dengan memberikan anggaran riset yang besar.
“Minimnya anggaran dan perhatian pemerintah membawa pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang teknologi. Contohnya, masih tertinggal dalam pengembangan tenaga nuklir,” katanya.
Padahal, lanjutnya, tugas LIPI dan lembaga riset lainnya adalah memberikan dukungan dan masukan kepada pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan.
“Beda dengan zaman orde baru, di mana pemerintah sangat perhatian terhadap lembaga riset baik LIPI maupun CSIS, dalam mengambil kebijakan,” jelasnya.
Ke depan, pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk LIPI, karena lembaga ini mempunyai peran yang penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Dengan meningkatkannya teknologi dan pengetahuan akan berdampak pada peningkatan perekonomian,’’ ujarnya.
“Kinerjanya Cukup Baik’’
Alfan Alfian, Pengamat Politik
Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian mengatakan, kinerja LIPI secara keseluruhan sudah cukup baik dalam mengkaji berbagai ilmu terutama ilmu-ilmu sosil dan politik.
“Jadi, kinerjanya cukup baik,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjutnya, lembaga tersebut juga cukup aktif dalam mengkaji berbagai persoalan yang ada di masyarakat sehingga hasilnya dapat diakses secara optimal oleh masyarakat.
“Lembaga tersebut sudah melakukan kajiannya secara profesional deh,” tambahnya.
Namun begitu, menurut pengamat politik The Akbar Tandjung Institute itu, kinerja lembaga tersebut masih memiliki kelemahan dalam hal birokrasi.
“Mereka (LIPI) agak terjebak pada birokratisasinya yang membuat ruang langkahnya menjadi terbatas. Sebab, kelemahan birokratisasinya tidak selaras dengan pengembangan ilmu dan teknologi,” tuturnya.
“Saya harap LIPI jangan sampai terjebak dengan birokratisasi yang akan menghambat penelitiannya,” tambahnya.
Disinggung apa yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kinerja LIPI menjadi lebih baik lagi, Alfan mengatakan, ada dua hal perbaikan di LIPI. Pertama, perlu dipergencar lagi upaya sosialisasi dalam hal penelitian yang sudah dicapai untuk disampaikan ke masyarakat. Agar hasil penelitiannya tidak menumpuk. Kedua, para peneliti juga harus lebih aktif lagi berkomunikasi dengan lembaga penelitian yang lain.
[RM]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar