Selasa, 21 Desember 2010

Memaknai Pergantian Tahun


MEMAKNAI PERGANTIAN TAHUN MELALUI HUBUNGAN MANUSIA DENGAN WAKTU

Atho B. Smith

Pergantian tahun dalam sistem penanggalan berlangsung secara periodik dan konstan. Penanggalan menurut kalender Hijriyah (lunar system)baru saja memasuki tahun baru dari 1431 ke 1432. Dalam hitungan hari kedepan, kita juga akan melewati pergantian tahun Masehi (solar system) dari 2010 ke 2011. Banyak hal yang dapat ditandai dengan fenomena ini, terutama soal hubungan manusia dengan perjalanan waktu tersebut.

Jika dilihat dari aspek ini, barangkali hanya sedikit orang yang menyadari bahwa hubungan kita dengan waktu, la’sana meletakkan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya keatas ‘ban berjalan’*. Setiap orang yang berada diatasnya secara fisik bebas melakukan apa saja yang dikehendaki, kecuali satu, yaitu MEROBAH MEKANISME KERJA ban berjalan itu, baik mempercepat, memperlambat, menghentikan, apalagi memutarnya mundur.

Akan tetapi, pertanyaan essensiilnya bukanlah pada soal mekanisme kerja itu, melainkan pada pertanyaan; KEMANA ban berjalan ini akan membawa seluruh “penumpang”nya’ itu? Kenyataan telah membuktikan bahwa para penumpang selalu dihantar menuju ke muaranya, yakni “tempat pembuangan akhir” (TPA)** yang biasa dikenal dengan istilah KEMATIAN. Tentang berapa jauh jarak yang harus ditempuh oleh masing-masing ‘penumpang’ hingga sampai ke tempat tujuan, tidak seorangpun yang mampu memastikannya, karena “lokasi” TPA itu sendiri sangat “gelap” dan tidak bisa dilihat dengan alat apapun, apalagi dengan kasat mata. Yang bisa diketahui hanyalah bahwa soal itu bergantung pada 2 hal, yakni : Dari mana ia mulai “menumpang”, dan bagaimana kondisi terkini-nya. Itupun hanya perkiraan semata. Yang pasti, semakin lama ia berada diatasnya, semakin dekat pula ia ke TPA.

Pertanyaan penting lainnya adalah : ADA APA DIBALIK TPA ITU, SEDANGKAN SEMUA MAKHLUK HIDUP HARUS MENUJU KESANA? Untuk menjawab pertanyaan ini, manusia hingga sekarang tidak mampu membuka ‘tabir’ supaya ia bisa melihat apa yang sesungguhnya ada di TPA itu. Dengan menggunakan teknologi secanggih apapun yang dimilikinya, manusia tidak mampu menguak rahasia itu. Melalui ilmu-ilmu metafisika sekalipun, ternyata juga tidak ditemukan jawaban yang pasti, semuanya “mengambang”. Lalu, dari mana bisa ditemukan jawabannya, ataukah tinggallah ia sebagai suatu misteri yang abadi? Disinilah letak keunikannya karena sifat dasar curiosity yang dimiliki manusia selalu menjadi semacam ‘stimulus’ untuk mengungkap misteri tersebut.

Suatu hal yang harus diakui manusia yaitu bahwa ia mempunyai keterbatasan dalam banyak hal, termasuk juga dalam hal “berpikir” dan “berusaha”. Artinya, diluar kekuasaan manusia ternyata juga ada kekuasaan lain yang jauh melampaui kekuasaan manusia. Kekuasaan atau kekuatan jenis ini oleh para ilmuwan disebut sebagai TRANSENDEN.

Menyadari akan kekurangannya, manusia perlu menelusuri bagaimana memahami sifat transenden itu, dan SIAPA PEMILIKNYA. Sejauh ini sifat transenden itu hanya bisa dipahami lebih detail melalui jalur AGAMA. Mengapa demikian? Karena di dalam agama manusia DIAJARKAN melalui wahyu antara lain bahwa segala yang ada di alam semesta ini ADA PENCIPTANYA, sekalipun mungkin tanpa wahyu manusia juga bisa menyadari (setelah menggunakan akal sehatnya) bahwa tidak mungkin sesuatu yang mekanisme kerjanya sangat teratur seperti yang terlihat di alam semesta ini, lalu tidak ada yang merancangnya. Pasti ada yang medesainnya, dan DIA itu adalah MAHA PENCIPTA, yang dikenal sebagai TUHAN.

Banyak informasi yang diterima manusia melalui jalur ini yang sebelumnya tidak pernah diketahui karena memang hal itu sengaja diberitahukan oleh Sang Pencipta, walaupun hanya dalam skala yang kecil saja. Nah, salah satu informasi penting yang diperoleh dari agama yaitu bahwa dibalik TPA itu (post mortem), ADA KEHIDUPAN LAIN, yang merupakan kelanjutan dari kehidupan sebelumnya (kehidupan duniawi), yang dikenal sebagai KEHIDUPAN UKHRAWI (HEREAFTER). Pertanyaan selanjutnya adalah : “Bagaimana suasana “kehidupan” manusia di tempat itu”? Untuk menjawabnya, tentu saja manusia harus merujuk pada prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin sebagaimana yang diajarkan oleh agama, karena disitu sebagian sudah dijelaskan bagaimana suasana dan kondisi manusia di tempat tersebut.

Agama sejauh ini mengajarkan bahwa manusia sesudah mati akan mengalami suasana kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Dua hal saja yang mungkin ditemuinya, yakni ia akan SENANG selamanya, atau kemungkinan lain ia akan TERSIKSA selamanya juga. Hal itu bergantung pada ‘posisi’ dimana nantinya ia berada. Setelah ditentukan posisinya, maka tempat itu akan dihuninya secara permanen/abadi. Lantas, bagaimana memastikannya? Atas persoalan ini, agama juga sudah memberikan ‘resep dan rambu-rambunya’. Tinggal bagaimana manusia meyakini hal itu sebagai suatu kebenaran dan bagaimana pula ia mematuhinya sebagai suatu keharusan. Yang pasti, kita semua yang masih berada diatas ban berjalan ini, sedang dihantar menuju kesana. Sementara pergantian tahun hanya merupakan isyarat atau pertanda saja akan jarak yang sudah kita lewati selama dalam perjalanan ini. Demikianlah, semoga ada manfaatnya, wallahu a’lam bissawab / Allah jualah yang lebih mengetahui / God knows the truth.

Tidak ada komentar: