Senin, 27 Juni 2011

Betapa Kocaknya Pemerintah



Paling tidak ada dua peristiwa yang dapat menunjukkan betapa “kocaknya” pemerintahan ini, yakni soal penanganan kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) dan penanganan kasus mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin.TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa.


Betapa tidak,pada 2010 saja ada 6 juta TKI yang bekerja di luar negeri dan mengirimkan uang sekitar USD7,1 miliar (Rp64,6 triliun).Namun, bagaimana penanganan kasus Ruyati, TKI asal Bekasi,Jawa Barat, yang dihukum pancung di Arab Saudi? Pemerintah justru tidak dapat berbuat apa-apa dengan alasan tidak diberi tahu oleh Pemerintah Arab Saudi dan/atau pemerintah tidak dapat “mengintervensi” sistem hukum Arab Saudi.

Jika diplomasi kita lemah atau komunikasi internasional tidak berjalan baik, ini menunjukkan betapa ajaran mengenai seni diplomasi (the art of diplomacy) seperti menjaga semua jaringan komunikasi terbuka (keep all channels of communication open),benar-benar diabaikan pemerintah.

Kita patut bertanya, apa saja kerja para diplomat kita di negeri itu? Bagaimana pula kinerja para intelijen kita di negeri itu, khususnya para agen Badan Intelijen Negara (BIN) yang seharusnya dapat mengumpulkan informasi rahasia mengenai perkembangan kasus Ruyati?

Kita bertanya, apakah para diplomat itu kurang mendapatkan arahan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan selain melakukan intelijen terbuka dan menghadiri konferensi internasional serta menjaga hubungan bilateral dengan pejabat, akademisi, dan aktivis LSM di negeri itu.

Apakah aparat intelijen kita kurang memiliki kapasitas untuk mengumpulkan serta menganalisis data intelijen tertutup serta mengirimkannya secara cepat ke Jakarta agar para pembuat rekomendasi kebijakan di ibu kota negara dapat segera memberikannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Jika demikian adanya, ini berarti para diplomat dan para agen intelijen kita perlu mendapatkan ilmu, pengetahuan, strategi, dan taktik tambahan agar kinerjanya semakin baik. Jika ternyata para diplomat dan agen intelijen negara sudah bekerja keras dan memberikan rekomendasi untuk mencegah masalah strategis seperti pemancungan Ruyati, namun tidak ada tindakan cepat dari Presiden SBY, ini berarti ada masalah dengan kepemimpinan di negeri ini.

Tapi, jika ternyata Presiden SBY sudah memberikan arahan yang baik,tetapi tidak diindahkan atau didukung para bawahannya, ini menunjukkan ada masalah besar yang juga terkait kepemimpinan nasional. Seni diplomasi juga mengajarkan bahwa Presiden harus memberi kepemimpinan dan kepemimpinan tidak mungkin jalan tanpa ada pengikut (the president should provide leadership, leadership is impossible without followership).

Hal lain yang diajarkan seni diplomasi adalah konferensi pers yang dilakukan Presiden harus digunakan secara hatihati (presidential press conferences must be used with caution) dan harus mencegah pernyataan yang dapat dikategorikan bacar mulut (avoid open-mouth policy).

Misalnya, pernyataan Presiden SBY pada konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang mengatakan bahwa ia sebagai Presiden RI juga sering menolak permohonan kepala negara asing agar warga negaranya tidak dihukum mati di Indonesia adalah suatu yang sangat tidak hati-hati.

Penolakan itu pastinya terkait pelanggaran pidana berat seperti penyelundupan narkotika yang dilakukan warga negara asing tersebut. Membandingkan kasus penyelundupan narkotika dan kasus pembunuhan terhadap majikan sebagai pembelaan diri karena sang TKI akan diperkosa atau diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya adalah seperti membandingkan antara “jeruk dan apel” yang berbeda karakteristiknya.

Membuat pernyataan yang seolah-olah menyalahkan mengapa seseorang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) atau bekerja di sektor informal adalah suatu yang tidak bijak atau kurang hati-hati karena akan melukai nurani rakyat, khususnya para TKW/TKI.

Pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bahwa Duta Besar Arab Saudi sudah dipanggil ke Kementerian Luar Negeri dan menyatakan permintaan maaf atas lalainya Arab Saudi memberi tahu Pemerintah Indonesia sebelum pemancungan terhadap Ruyati dilakukan adalah sesuatu yang melanggar prinsip “avoid openmouth policy” karena ternyata Dubes Arab Saudi membantah telah melakukan hal itu.

Kasus Nazaruddin juga menunjukkan betapa kocaknya pemerintahan ini.Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu terbang ke Singapura pada 23 Mei 2011, sehari sebelum imigrasi atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan kebijakan cekal terhadap Nazaruddin.

Di sini menunjukkan betapa “saluran intelijen” Nazaruddin jauh lebih canggih daripada jaringan intelijen BIN. Aneh, mana mungkin Nazaruddin dapat langsung kabur ke Singapura jika ia tidak diberi tahu oleh mereka yang memiliki informasi mengenai cekal itu.

Kocaknya, meski Menko Polhukam Djoko Suyanto sudah memerintahkan agar jajaran Kemlu,polisi,dan BIN dapat mengusahakan agar Nazaruddin dapat dipulangkan ke Tanah Air, segalanya belum berhasil.

Anehnya pula Nazaruddin dikabarkan dapat melenggang bebas di negara kota itu tanpa rasa takut, termasuk makan di restoran, bertemu koleganya dari Partai Demokrat yang disuruh menjemputnya (walau tanpa hasil), bahkan pergi ke ATM di Singapura.

Anehnya pula, sampai saat ini belum ada pernyataan dari Presiden SBY yang adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di depan umum soal kasus Nazaruddin. Tambah aneh lagi, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga nyaris tak terdengar suaranya soal Nazaruddin ini.

Beda sekali dengan ketika kasus Gayus Tambunan muncul di masa lalu.Lagi-lagi ini bertentangan dengan the art of diplomacy yang mengajarkan bahwa the president should always put country above party (presiden harus selalu meletakkan negara di atas partai!).

Apakah karena Nazaruddin adalah orang Partai Demokrat,tak ada suara resmi pemerintah mengenai hal ini? Masih banyak hal yang lucu yang bisa kita temui bila kita membaca atau menonton media. Tapi,dari dua kasus itu saja menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan nasional. IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tidak ada komentar: