Rabu, 25 Juni 2008

Ada Apa Dibalik Hak Angket BBM?

(berpolitik.com): Pemerintah memang bisa membendung hak angket BLBI. Namun, kali ini harus menerima kenyataan tak mampu membendung hak angket tentang kenaikan harga BBM. Kegagalan itu ditandai oleh beralihnya dukungan partai-partai penyokong pemerintah, dari mulai PPP,PKS hingga PDS. Beralihnya dukungan PPP terbilang menarik karena sebelumnya partai ini secara terbuka mendukung kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Yang terwacana di media massa adalah tepisan ketua DPR Agung Laksono yang menyatakan hak angket ini tak bakal berujung pada pemakzulan SBY. Menurut para penggagasnya, hak angket diajukan untuk mengetahui sebab-sebab penurunan produksi minyak mentah di dalam negeri. Sekadar itukah?

Sumber-sumber berpolitik memastikan para penggagasnya punya targetan yang jauh lebih dalam. Untuk sampai ke sana, mereka akan mulai dengan mempertanyakan hal-hal yang selama ini sudah menjadi bumbu pembicaraan tanpa pernah diklarifikasi secara tegas oleh pemerintah.

Ada Jatah Pemerintah, Ada Jatah Pemegang Kontrak karya
Isu pertama terkait dengan produksi itu sendiri. Dari 100% produksi minyak mentah di tanah air, ada bagian yang sebenarnya merupakan hak Indonesia. Dalam kontrak karya, jumlahnya mencapai 85% dari total produksi. Setelah dipotong biaya ini-itu, diperkirakan setidaknya masih ada 65% minyak mentah yang murni hak pemerintah..

Persoalannya, tatkala menghitung selisih beban yang harus ditanggung APBN ketika harga minyak di pasaran internasional meroket, pemerintah tak pernah menghitung berdasarkan pola pembagian itu. Dalam menggelar perhitungan,pemerintah menghitung sebagai satu kesatuan yang tak terpisah.
Karena itulah, beban subsidi jadi terlihat begitu besar.

Jika saja dilakukan pemisahan perhitungan akan muncul angka yang mencengangkan. Soalnya bakal ada selisih dari jumlah yang diklaim pemerintah."Saya pun bertanya-tanya soal ini. Karena tak pernah ada data yang dilansir ke publik, saya juga tak bisa menghitungnya," kata seorang ekonom.

Marjin dan Biaya Distribusi:Siapa yang Menikmati?
Kedua, terkait itu, adalah penentuan harga minyak kita yang mengacu pada MOPS (Mid Oil Platt of Singapore). Hingga kini, tak pernah jelas mengapa pemerintah mengacu pada MOPS dan bukan mengacu pada harga lainnya.

Sudah begitu, besaran alpha dalam MOPS yang meliputi biaya distribusi dan marjin keuntungan juga tidak pernah jelas terurai. Besaran marjin jadi penting karena seperti disebut diatas, ada bagian minyak yang merupakan jatah pemerintah Indonesia.

Apakah besaran alpha ini turut diperhitungkan, misalnya, tatkala bagian minyak itu seluruhnya diekspor ke luar negeri? Dan, sebaliknya, apakah pemerintah masih memasukan komponen alpha tatkala menghitung biaya produksi riil minyak ketika hendak dikonsumsi di dalam negeri dari bagian minyak yang merupakan hak Indonesia? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang hanya sedikit orang bisa menjawabnya dengan benar dan tepat karena begitu minimnya data yang tersedia ke publik dan bahkan juga di kalangan anggota dewan sekalipun.

Terkait itu, hingga kini, desas-desus adanya kartel yang menguasai lini distribusi minyak ke tanah air juga tak pernah terjelaskan. Di masa orde baru, urusan distribusi memang banyak diambil alih oleh keluarga Cendana. Namun, tak masuk akal jika pemerintah-pemerintah setelah itu masih mempertahankannya. Sebab, ongkosnya disebut-sebut agak mahal dari harga pasar. Banyak yang menduga, banyak kebocoran dalam soal ongkos angkut minyak ini. Pertanyaannya, tentu saja, selain si pengangkut, siapa yang turut kecipratan duit dari soal angkut-mengangkut ini?

Tak Bangun Kilang
Ketiga, menyangkut kilang. Selama bertahun-tahun selalu disebutkan minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri harus diekspor karena hanya ada satu kilang (Balongan) yang bisa memproduksinya. Itu pun masih harus dicampur dengan jenis minyak lain alias tetap ada minyak mentah yang diimpor.

Kalangan penentu kebijakan minyak selama ini selalu berkilah, pembuatan kilang di dalam negeri tak efisien. Ini kilah yang semakin dipertanyakan orang karena kemudian ketahuan, banyak minyak yang kita impor justru berasal dari kilang-kilang di Singapura Meski, tentu saja, mengakunya di datangkan dari timur tengah dan juga Amerika Serikat.

Kalau Singapura bisa membangun kilang dan pastinya menguntungkan mereka, memang patut dipertanyakan mengapa Indonesia tak mau membangun kilang juga.

Peran Mafia Minyak
Terkait itu, ke empat, tak ayal ada dugaan semua ini terkait dengan keberadaan mafia minyak yang mengambil rente lumayan besar. Ekonom Rizal Ramli menyatakan, akibat keberadaan sang mafia yang dijuluki Mr R ini, biaya produksi di tanah air jadi 20% lebih mahal.

Soalnya, kata Rizal, sang mafia mengutip 2 USD untuk tiap barel minyak yang dia datangkan. Keuntungan besar mafia ini, hatta, bisa menyampai Rp 2 - 3 triliun tiap tahunnya. Menilik jumlahnya yang sebesar itu, tak heran jika kemudian banyak yang menduga, ada bagian yang dikucurkan ke pejabat pemerintah. Menurut sumber berpolitik, jumlahnya mencapai Rp 1 triliun lebih.

Yang menarik, sebuah sumber menyebutkan, jasa mafia itu tak bisa ditolak pemeritah. Soalnya, si mafialah yang menanam uang jaminan yang totalnya mencapai Rp 75 triliun lebih di pasar minyak dunia. Dengan uang jaminan itulah, transaksi bisa dilangsungkan. Jikapun benar mekanismenya seperti itu, menjadi pertanyaan serius mengapa pemerintah tak berupaya mencari dana sendiri agar tak usah lagi mempergunakan jasa sang mafia.

Menilisik Petral
Kelima, terkait dengan keberadaan anak perusahaan Pertamina yang bermarkas di Singapura: Petral. Anak perusahaan yang satu inilah yang menjadi urat nadi Pertamina dalam berdagang minyak.

Nah, semua urusan pat gulipat soal harga ada dalam penguasaan Petral, yang sialnya, tak mungkin dikejar-kejar karena mengikuti hukum Singapura. "Saking strategisnya Petral, bisa dipastikan, mantan direktur Petral pasti menjadi Dirut Pertamina. "Silahkan tebak sendiri, mengapa bisa begitu," kata sumber berpolitik di kalangan perminyakan.

Turun Terus, Purnomo Malah Makin Kuat
Dan, akhirnya, pertanyaan soal ketidakmampuan meningkatkan lifting minyak mentah dalam 5 tahun terakhir. Kecuali tahun 2003 yang sempat maik, selebihnya sejak 2002, produk minyak Indonesia terus turun. Kenaikan pada tahun 2003 lebih terkait karenanya ada pembebasan pajak bea masuk peralatan untuk eksplorasi.

"Bagaimana mau naik, jika tak ditemukan sumur-sumur baru. Dengan kata lain, proses eksplorasi mandek. Ini pasti karena kebijakan energi yang tak tepat," kata seorang sumber.

Karena itulah, orang-orang pun bertanya-tanya mengapa SBY tak mau melengserkan Purnomo Yusgiantoro. Malah, posisi Purnomo begitu kuat sehingga sempat digadang-gadang bakal menjadi Menko Perekonomian menggantikan Boediono.

Sejumlah pihak menengarai ada hubungan khusus antara keduanya. Sayangnya, tak satupun mau buka mulut perihal yang satu ini. "Ini sensitif. Bukan karena sekadar faktor SBY. Tapi, faktor orang yang dekat dengan SBY. Dia lebih emosional dan kerap menjadi penentu. Bisa bahaya kalau dikutak-katik," kata sumber berpolitik sembari tetap tak mau buka mulut tentang siapa yang dimaksudnya dengan orang dekat SBY.

Menilik mata rantai persoalan yang sungguh berliku itu, jika terkuak, posisi SBY bukan mustahil bakal limbung. Soalnya, ini bukan lagi soal kebijakan. Tetapi sudah terkait dengan kemungkinan adanya tindak pidana.

Meski begitu tak sedikit yang meragukan skenario pemblejeten kebusukan sektor energi ini bakal terkupas tuntas. Kita nantikan saja babak selanjutnya.

Tidak ada komentar: