Sabtu, 23 Agustus 2008

Konflik Ossetia, Ajang Perebutan Pengaruh Antara NATO dan Rusia


Konflik bersenjata antara Georgia dan Rusia di Ossetia Selatan sejak 8 Agustus 2008, dinilai sebagai pesan keras yang ingin disampaikan Rusia kepada pihak-pihak terkait di Barat dan AS agar tidak melakukan perluasan pengaruh NATO di Ossetia dan Abkhazia melalui tangan Georgia. Pesan keras lainnya, Rusia ingin mengatakan dengan lantang bahwa ancaman Rusia yang akan menggunakan kekuatan senjata untuk menghalau setiap upaya NATO memperluas pengaruhnya di negara-negara tetangganya bukanlah omong kosong, tapi akan dibuktikan dengan tindakan nyata.

Memang benar, secara kasat mata, Georgia-lah yang pertama memprovokasi Rusia dengan melancarkan serangan udara secara membabi buta terhadap Ibukota Ossetia Selatan Tskhinvali pada 8 Agustus 2008. Serangan itu menewaskan sekitar 1400 orang, 10 diantaranya adalah pasukan perdamaian Rusia. Akan tetapi balasan Rusia terhadap provokasi itu tidak seperti yang diduga oleh banyak pihak. Rusia langsung membalasnya dengan serangan udara dan agresi secara langsung mengusir tentara Georgia dari Ossetia dengan melibatkan ribuan tentara, ratusan pesawat tempur dan kapal-kapal perang. Armada tempur Rusia tidak hanya menargetkan posisi tentara Georgia di Ossetia tapi juga ibukota Georgia, Tbilis ikut menjadi sasaran.

Balasan Rusia yang diluar dugaan itu menunjukan adanya “ niat terpendam” Rusia yang telah sejak lama ingin “memberi pelajaran keras” terhadap sikap-sikap politik Presiden Georgia Mikhail Saakashvili yang cenderung pro Barat dan AS. Georgia dibawah pemerintahannya berupaya terus untuk bergabung dengan NATO dan mendapat dukungan dari AS. Hal ini dinilai sebagai faktor yang memicu kemarahan besar bagi Rusia karena perluasan NATO telah sampai pada negara yang berbatasan langsung dengan Rusia. Sejak berkuasa di Georgia tahun 2003 melalui “revolusi bunga” , rezim Mikhail Saakashvili berupaya menjauh dari lingkaran politik negeri beruang putih dan berusaha untuk menguasai wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan yang pada tahun 1992 menyatakan memerdekaan diri dari Georgia secara sepihak dengan mendapat dukungan dari Rusia.

Berbagai statemen dari para pejabat Moskow semakin memperkuat dugaan tersebut. Menlu Rusia Sergey Lafrov mengatakan ada bukti-bukti yang menunjukan adanya pembersihan etnis terhadap muslim Ossetia Selatan. Kondisi rakyat di negara tersebut semakin memburuk dan banyak warga sipil yang mati kelaparan. Moskow tidak mencukupkan sampai di situ, bahkan menuduh Ukraina menyuplai senjata kepada Georgia untuk mendorong negara ini membersihkan etnis muslim di Ossetia Selatan.

PM Rusia Vladimir Putin juga ikut berkomentar dengan mengatakan serangan Georgia terhadap Ibukota Ossetia Selatan Tskhinvali merupakan petualangan militer Georgia yang kotor. Vladimir Putin juga mengatakan bahwa volunteer Rusia siap berperang di Ossetia dan sulit bagi Georgia untuk mengentikan mereka. Vladimir Putin mengatakan serangan militer Rusia terhadap Ossetia untuk mendesak Georgia agar bersedia melakukan perdamaian dengan penduduk Ossetia Selatan.

Intervensi AS

Berbagai media massa Rusia memiliki tanggapan lain. Hampir seluruh media Rusia melayangkan tuduhan adanya intervensi AS. AS dituduh telah menyuplai senjata kepada militer Georgia dan memprovokasinya untuk menyerang Ossetia Selatan. Hal ini menunjukan bahwa akar permasalahn konflik sebenarnya bukan terbatas konflik antara Georgia dengan Ossetia Selatan, akan tetapi juga ikut bermain kepentingan Rusia yang tidak ingin melihat negara tetangganya Ukrania, Georgia, Ossetia dan Abkkhazia bergabung menjadi bagian dari NATO.

Sikap negara Abkhazia menjadi bukti yang paling kuat keterlibatan AS. Sejumlah pejabat di Abkhazia langsung menyatakan dukungan mereka terhadap Ossetia dan mereka langsung memberi bantuan militer. Meskipun antara Abkhazia dengan Ossetia Selatan memiliki perjanjian pertahanan bersama untuk saling membantu jika diserang Georgia, namun apapun yang dilakukan oleh Abkhazia kepada Ossetia Selatan tidak bisa terlaksana, kecuali setelah mendapat lampu hijau dari Rusia. Di satu sisi, Rusia tampak ingin memperluas front peperangan hingga ke Abkhazia, agar Georgia cepat ditumbangkan, sekaligus memberi tamparan keras terhadap negara-negara yang ingin melawan pengaruh Rusia di kawasan Asia Tengah.

Rusia Memiliki Banyak Kartu Turf

Keberanian Rusia bersikap agresif menghadapi serangan militer Georgia oleh banyak pengamat disebabkan karena Rusia memiliki banyak kartu turf dan posisinya berada di atas angin. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor antara lain, pertama perimbangan kekuatan militer antara Rusia dengan Georgia, Rusia tampak lebih unggul. Rusia memiliki sekitar 395 ribu tentara, 23 ribu tank, 9900 truk tempur, 26000 senjata artileri dan 1809 pesawat tempur. Sementara Georgia hanya memiliki 32 ribu personil tentara, 128 tank dan 44 truk pengangkut tentara.

Kedua, Rusia mengetahui Barat yang diwakili NATO tidak bisa berbuat banyak apabila negara sekutunya Georgia dibombardir, karena NATO kini masih disibukkan oleh permasalahan di Afghanistan sementara tentara AS terjebak di Irak. Oleh karena itu, melalui Jubirnya, Pemerintah Gedung Putih menyerukan kepada semua pihak agar segera berunding dan menyelesaikan segala permasalahannya melalui dialog. Hal senada juga disampaikan oleh Komandan Pasukan AS di Eropa Kolonoel Jhone Dorban, yang mengatakan bahwa pasukan AS di Georgia bukan pihak yang terlibat dalam konflik. Kemlu AS juga menyatakan bahwa AS akan segera mengutus utusan khusus ke Georgia untuk melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terkait konflik.

Ketiga, kondisi Internal Georgia sendiri sangat menentang kebijakan Presiden Georgia untuk terlibat kontak fisik dengan Rusia, karena dampaknya terhadap masyarakat Georgia, menghancurkan infrastruktur. Kelompok-kelompok oposisi Georgia semakin memiliki posisi kuat dengan terjadinya konflik di Ossetia. Rezim Presiden Georgia, Mikhail juga dinilai tidak dapat memenuhi janji-janjinya seperti yang disampaikannya sebelum memangku jabatan Presiden, di satu sisi kemiskinan dan pengagguran di kalangan masyarakat Georgia hingga kini masih menjadi problem yang banyak dikeluhkan masyarakat.

Hadiah Buat Iran

Iran tampaknya menjadi negara yang paling diuntungkan dengan meletusnya konflik bersenjata di Ossetia. Banyak pihak mengatakan, konflik di Ossetia merupakan pelampung penolong bagi Iran untuk menghadapi Barat dan AS terkait program nuklirnya. Kesimpulan ini dapat dijelaskan dengan melihat AS saat ini tengah mempersiapkan paket hukuman baru bagi Iran, akan tetapi dukungan AS terhadap Georgia dengan sendirinya akan mendorong Rusia untuk menolak usulan sangsi AS terhadap Iran itu dalam sidang DK PBB. Masalah Iran akan digunakan sebagai kartu truf untuk mendapatkan kelunakan sikap Barat dan AS terkait dengan masalah Georgia dan Ukraina, dimana NATO mati-matian untuk menarik kedua negara ini bergabung dengan NATO

Ada perkembangan lain yang tidak diduga-duga oleh Presiden Bush yakni Georgia secara tiba-tiba menarik 1000 pasukannya yang bertugas di Irak. Langkah ini sedikit membuat kalang kabut berbagai rencana dan kalkulasi AS di Iran.

Problem Ossetia

Sejarah Ossetia dimulai sejak tahun 1878. Pasca Revolusi Bolseviks, Rusia membagi Ossetia menjadi dua bagian. Ossetia Utara masuk menjadi bagian wilayah Rusia dan Ossetia Selatan ke Georgia. Pada 28 November 1991, Ossetia menyatakan memerdekakan diri dari Georgia secara sepihak, namun kemerdekaan Ossetia tidak mendapat pengakuan internasional. Pasca kemerdekaan Ossetia, terjadi konflik bersenjata antara pasukan Georgia dan gerilyawan Ossetia dan berakhir pada tahun 1992 dengan disepakatinya kesepakatan damai. Dalam kesepakatan itu, kedua pihak setuju pasukan perdamaian Rusia ditempatkan di wilayah perbatasan antara Georgia dengan Ossetia Selatan. Namun pada tahun 2004, Presiden Georgia Mikhail melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap gerilyawan Ossetia.

Tahun 2006, Ossetia Selatan melakukan referendum untuk menentukan nasib dirinya sendirinya. Hasil referendum itu menyetujui Ossetia merdeka terlepas dari Georgia. Pada tahun yang sama Ossetia menyelenggarakan Pemilu Presiden Ossetia. Presiden Edwadi Kukuti sebagai presiden terpilih pertama republik Ossetia

Tidak ada komentar: