Minggu, 19 Oktober 2008

Keteledoran atau Kesengajaan?

Oleh Abdurrahman Wahid*
Pada suatu ketika, penulis artikel ini diminta berkampanye untuk pilkada di Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Ketika asyik berkampanye di atas panggung, penulis ini ditanya orang.

“Mengapa Anda setuju dengan ajaran GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia)?” Penulis artikel ini menjawab bahwa ia tidak mengenal ajaran GAI, juga ajaran Muhammadiyah, al-Wasliah, dan lain-lainnya.

Ia mempertahankan GAI, karena ia mengikuti Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan dalam berpikir, bertindak, juga mengikuti gerakan apa pun. Jadi, ia bukan mempertahankan GAI, karena hanya tahu sedikit tentang gerakan tersebut, melainkan melaksanakan perintah UUD 1945.

Maka, tidak seperti disangkakan orang bahwa penulis artikel ini mendukung paham atau ajaran mana pun. Peristiwa yang terjadi di Muara Teweh itu juga diikuti tiga orang penting, yaitu calon bupati/kepala daerah dari PKB (dan yang akhirnya menang lagi), anggota pengurus PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa) dari Kalimantan Selatan, dan seorang pengamat dari gereja Katolik yang datang dari Jakarta khusus untuk menyaksikan sendiri ”politik”yang dimainkan penulis artikel ini.

Artinya, penulis artikel ini membuka diri terhadap ”pandangan luar”. Dengan demikian, keterbukaanlah yang menjadi ukuran tunggal bagi tindakan penulis artikel ini. Dengan demikian, kejujuran sikap dan keterbukaan pandangan harus menjadi ukuran tunggal dalam menimbang tindakan-tindakan politik.

Penulis artikel ini selamanya membagi segala yang dilakukan/diambil PKB, sudah tentu dalam hal ini (para warganya) dalam dua macam tindakan. Pertama, yang dilakukan untuk kepentingan perorangan para warga PKB tersebut. Kedua, tindakan yang dilakukan atau diambil untuk kepentingan orang banyak.

Dalam hal ini termasuk juga kepentingan perorangan yang sesuai tujuan menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bangsa serta negara. Ternyata, dari hasil pengamatan penulis artikel ini, banyak sekali tindakan yang diambil warga PKB hanya berdasarkan kepentingan pribadi/perorangan para pengurus.

Inilah pangkal persoalan dalam kemelut yang dihadapi PKB saat ini. Jadi, bukan persoalan lain. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan seperti ini ternyata tidak gampang. Semenjak beberapa bulan yang lalu, penulis artikel ini telah mengambil tindakan-tindakan pembersihan di kalangan para pengurus PKB di seluruh Indonesia.

Untuk itu, penulis artikel ini terpaksa membekukan dan mengganti lebih dari empat puluh kepengurusan PKB di segenap tingkatan. Seperti pimpinan anak cabang (PAC) di kecamatan, dewan pimpinan cabang (DPC) di kabupaten/kota, dewan pimpinan wilayah (DPW) di provinsi, serta dewan pimpinan pusat (DPP) di tingkat nasional.

Konsekuensi dari tindakan-tindakan yang diambil itu adalah ”keharusan” untuk menjaga agar supaya hanya orang-orang yang ”bersih” yang berhak mewakili organisasi itu ke dalam dan ke luar. Bahwa hal ini tidak cukup untuk benar-benar ”membersihkan” parpol tersebut, menjadi nyata dalam kemelut yang sekarang sedang terjadi.

Ada semacam campur tangan dari pihak pemerintah dalam hal ini. Intervensi dari luar itu datang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Tentu saja mereka berani melakukan hal itu karena didukung ”orang luar”, seperti pengusaha Aksa Mahmud, Aburizal Bakrie, dan sebagainya.

Tragisnya, pelanggaran itu dilakukan dengan tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan. Dalam undang-undang parpol ditegaskan bahwa jalannya roda organisasi ditentukan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) parpol yang bersangkutan.

Padahal, kedua pihak di atas melanggar atau menyimpang dari AD/ART PKB sendiri. Setiap tindakan yang diambil parpol tersebut baru sah jika diambil serempak oleh empat pihak sekaligus, yaitu ketua dan sekretaris dewan syura serta ketua dan sekretaris dewan tanfidz/pelaksana.

Walaupun Menteri Andi Mattalatta menyatakan secara lisan kepada pihak KPU bahwa keputusan dapat diambil atas dasar persetujuannya, dia sendiri mengaku tidak tahu-menahu akan hal itu. Namun, KPU telanjur mengikuti garis tersebut. Hal ini bersifat fatal bagi PKB sendiri.

Keadaan berkembang. Terjadi penolakan dari kader PKB di seluruh Indonesia. Namun, mereka mencari pihak lain dalam lingkungan PKB sendiri untuk saling mendukung. Campur tangan dari luar seperti ini sangatlah mengganggu dan harus segera disudahi atau diubah.

Tentu saja tidak mudah untuk melakukan hal itu. Banyak pertimbangan lain harus digunakan dalam hal ini. Tetapi, kendali dalam tubuh PKB masih tetap berada di tangan lembaga-lembaga yang setia kepada kejujuran dan kebersihan.

Sementara yang menyimpang selalu bersifat perorangan bukannya kelembagaan. Karena itu, keadaan masih bisa di atasi bagi kepentingan PKB sendiri, bukan?[]

Tidak ada komentar: