Minggu, 20 Februari 2011

Rakyat Libya Menguji Ketahanan Khadafy


INILAH.COM, Jakarta - Krisis politik kini melanda Libya dan mengancam kekuasaan Presiden Moamar Khadafy. Gerakan rakyat sedang menguji daya tahan dan durabilitas kekuasaan Khadafy yang terlalu lama.

Rakyat Libya seolah mengikuti gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang kemudian menumbangkan penguasa rezim yang dinilai otoriter, yakni Presiden Zainal Abidin bin Ali dan Hosni Mubarak. Serentak dan massal, rakyat Libya hari ini menggelar demonstrasi "Hari Kemarahan" ditujukan pada Moamar Khadafi. Aksi ini dilakukan dua hari setelah bentrokan pendemo dan aparat di kota kedua di Libya, Benghazi, yang melukai belasan orang. Pemimpin Libya Moammar Khadafi juga diminta turun dari jabatannya. Dia telah berkuasa selama 41 tahun, lebih lama ketimbang Hosni Mubarak (30 tahun berkuasa) dan Bin (atau Ben di dunia Barat) Ali (23 tahun).

Di Tripoli, kelompok yang terdiri dari beberapa tokoh ternama dan terpercaya Libya dan organisasi hak asasi manusia, meminta pengunduran diri Khadafy. Mereka menyatakan, rakyat Libya memiliki hak untuk mengekspresikan diri melalui unjuk rasa damai tanpa ada ancaman kekerasan dari rezim yang berkuasa.

Unjuk rasa, sebuah peristiwa langka di Libya, dilaporkan terjadi setelah keluarga korban pembantaian di penjara 15 tahun lalu, turun ke jalan. Mereka mendapat dukungan dari banyak orang. Negara dan media Barat melaporkan, sebanyak 12 ribu tahanan tewas di Penjara Abu Slim, dalam sebuah pembantaian yang terjadi pada 29 Juni 1996. Insiden itu terjadi setelah mereka mengeluhkan kondisi buruk di dalam penjara.

Desakan mundur itu muncul setelah adanya satu petisi yang ditandatangani 213 tokoh dari berbagai kalangan masyarakat di negara tersebut. Termasuk diantaranya, aktivis, pengacara, pelajar dan pejabat pemerintah. Demonstrasi besar-besaran ini akan menjadi ujian bagi pemimpin Libya Moamar Kadhafy (68) yang sejak berkuasa 1969 menyandang pangkat kolonel itu.

Khadafy adalah pemimpin dunia Arab yang paling lama berkuasa. Demo ‘Hari Kemarahan’ diserukan lewat sebuah grup di Facebook. Senin (14/2/2011) lalu, sebanyak 4.400 orang menjadi anggota grup ini. Angka ini bertambah menjadi 9.600 dua hari kemudian setelah meletus kerusuhan di Benghazi. Libya memiliki tingkat kepemilikan komputer yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara Afrika Utara pada umumnya dan sampai saat ini memiliki akses cukup bebas ke Internet. Tapi Kadhafy secara agresif memenjara, menyiksa atau membunuh tokoh oposisi anti-rezim, dari kelompok demokratik atau Islam.

Kerusuhan di Benghazi terjadi pada Selasa (15/2/2011) malam. Ini merupakan protes pertama yang menimpa Kadhafy sejak berkuasa. Pemicunya adalah protes massa atas penangkapan seorang aktivis HAM. Sekitar 10 aparat keamanan juga terluka.

Baik Inggris dan Uni Eropa menyerukan otoritas Libya menahan diri menghadapi pendemo. Mereka juga mendesak agar Libya membuka keran "kebebasan berekspresi."

Sementara itu, seorang aktivis hak asasi manusia setempat menyatakan kepada Reuters, pejabat pemerintah membebaskan 110 tahanan yang ditahan karena aktivitas di organisasi terlarang, Libyan Islamic Fighting Group.

Mereka dibebaskan dari Penjara Abu Salim, Rabu (16/2/2011), meski ada beberapa yang masih ditahan. Seperti Kepala Libya Human Rights Association Mohamed Ternish. Ratusan lainnya yang ditangkap karena melakukan kekerasan tahun lalu, juga telah dibebaskan.

Keberhasilan rakyat Tunisia dan Mesir rupanya dicontoh negara-negara tetangganya, termasuk Libya. Revolusi yang dipicu oleh aksi bakar-diri pedagang asongan Tunisia, Mohamed Bouazizi, itu menjalar ke seluruh Tunisia, kemudian ke Mesir dan kini ke Dunia Arab. Tidak cuma Mesir, negara-negara lain semisal Libya, Yordania, Maroko, Yaman, Aljazair, dan Bahrain menunjukkan sinyal bakal dimulainya revolusi.

Berkuasanya Moammar Khadafy di Libya selama 41 tahun —terlama di Afrika dan Timur Tengah— bisa jadi akan membikin letupan-letupan revolusi rakyat baru, yang terinspirasi dari pengalaman Tunisia dan Mesir. Rakyat yang berpandangan kian demokratis bisa jadi akan mempertanyakan legitimasi (masih) berkuasanya pemimpin mereka itu.

Kini, di Libya dan Dunia Arab lainnya menjadi urgen mengenai apa yang digemakan George Soros (2000) sebagai “masyarakat terbuka” (open society). Masyarakat terbuka di Libya dan Dunia Arab menghendaki sistem demokrasi yang bercorak bawah-atas (bottom-up). Kewenangan tertinggi atas negara ada pada rakyat: Rakyatlah yang berhak mengangkat atau memberhentikan pemimpin.

Di sini, Khadafy diuji: akan bertahan sebagai penguasa tunggal atau terpaksa membuka keran demokrasi? Nasib Khadafy memang belum bisa diprediksi ! [nic]

Tidak ada komentar: