Selasa, 27 September 2011

Ketika Banggar DPR Mogok


Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) kembali mendapat sorotan masyarakat.

Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil para pimpinan Banggar untuk mendapatkan informasi dan klarifikasi terkait dugaan korupsi yang dilakukan jaringan pengusaha, birokrasi pemerintahan (khususnya di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), serta oknum di Banggar DPR, mereka secara mengejutkan menghentikan pembahasan RAPBN 2012 bersama pemerintah. Pimpinan Banggar tampaknya merasa tersinggung mengapa mereka dipanggil KPK.

Para pimpinan Banggar juga merasa bahwa KPK melakukan intervensi lantaran terlalu ingin tahu kebijakan Banggar DPR dalam menentukan anggaran bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah. Akibatnya, Banggar mutung dan menghentikan pembahasan RAPBN 2012. Sebenarnya sah-sah saja KPK memanggil para pimpinan Banggar karena KPK ingin mengetahui secara pasti apakah proses pembahasan anggaran berjalan secara normal atau ada hal-hal melenceng yang dilakukan para oknum di Banggar DPR, sehingga terjadi kolusi dan korupsi antara pengusaha, birokrat, dan anggota Banggar DPR. Apa yang dilakukan KPK sesuai dengan upaya kita untuk membangun suatu pemerintahan yang bersih dan baik.

Namun, jika sebagai balasannya Banggar DPR lalu melakukan mogok, ini sesuatu yang amat istimewa. Tak heran jika ada komentar dari kalangan dalam dan luar DPR bahwa pemogokan biasa dilakukan oleh para buruh agar gaji dan upah mereka dinaikkan oleh pengusaha, tapi tidak pantas untuk dilakukan oleh anggota DPR, terlebih lagi oleh Banggar. Adalah suatu keistimewaan di era demokrasi kini DPR dapat memiliki hak budget yakni menjalankan peran dan fungsinya untuk membahas RAPBN sebelum menjadi UU APBN pada tahun berikutnya.

Di era Orde Baru, DPR hanya memberikan stempel persetujuan terhadap pengajuan RAPBN yang diberikan pemerintah. Pembahasan mengenai RAPBN 2012 sesuai dengan jadwal waktu yang sudah ditentukan harus selesai akhir Oktober 2011. Namun, jika Banggar melakukan pemogokan dalam pembahasan, hal ini tentu akan mengganggu penentuan APBN 2012. Siapa yang akan dirugikan oleh tindak pemogokan yang dilakukan Banggar DPR itu?

Dari sisi pemerintah, pemogokan oleh Banggar DPR tidak akan memberikan konsekuensi politik yang besar karena pemerintah dapat melaksanakan anggaran yang berlangsung pada tahun sebelumnya, dalam hal ini APBN 2011. Setelah itu, pemerintah dapat mengajukan APBN perubahan pada pertengahan 2012 yang tentu akan dibahas pula melalui Banggar DPR. Para pimpinan dan anggota Banggar yang menyetujui pemogokan pembahasan RAPBN 2012 dapat dikatakan tidak menjalankan hak konstitusional mereka secara bertanggung jawab.

Bila itu terjadi pada pemerintahan Orde Baru, bukan mustahil mereka dapat dikatakan melalaikan tugas dan tanggung jawab. Dalam kadar lebih berat, mereka bisa dikategorikan melakukan ”makar” atau ”subversif” karena mengganggu rencana pembangunan nasional. Kita tidak tahu apa yang ada di kepala para pimpinan dan anggota Banggar yang melakukan mogok untuk melanjutkan pembahasan RAPBN 2012. Apakah mereka ingin menunjukkan kepada KPK dan pemerintah bahwa DPR memiliki ”kekuasaan yang amat besar” untuk menentukan disetujui atau tidaknya RAPBN untuk menjadi APBN.

Apakah ini juga merupakan bagian dari tawar-menawar politik mereka agar KPK tidak lagi melakukan penyelidikan atau penyidikan mengenai korupsi yang dilakukan para oknum di Banggar. KPK bisa saja menunjukkan ”gigi” dengan semakin meningkatkan penyidikan atas dugaan korupsi di Banggar DPR. Namun, Ketua KPK Busyro Muqoddas lebih memilih cara-cara yang elegan dalam menghentikan pemogokan oleh Banggar itu dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukan KPK untuk menepis ”fitnah” yang dilakukan pengusaha atau anggota DPR sendiri mengenai ada korupsi di Banggar.

Lepas dari ada dan tidaknya tawar-menawar politik antara Banggar dan KPK soal dilanjutkan atau dihentikan pemanggilan terhadap para pimpinan Banggar, pemogokan itu justru menjadi blunder politik bagi Banggar khususnya dan DPR pada umumnya. Citra DPR akan semakin buruk di mata masyarakat. Rakyat juga akan bertanya apakah para anggota Banggar DPR itu para nasionalis sejati ataukah justru sebagai penghambat pembangunan dan penghalang bagi terbentuknya pemerintahan yang bersih dan baik.

Sadarkah para pimpinan Banggar bahwa DPR bersama pemerintah harus bahu membahu secara positif untuk mencegah negeri ini menjadi korban dari krisis ekonomi yang sedang melanda negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sadarkah mereka bahwa pemogokan telah melemahkan peran Parlemen dalam menentukan APBN. Jika mereka sering menggunakan kata bertuah contempt of parliament (pelecehan terhadap Parlemen) kepada mereka yang tidak mau hadir jika dipanggil DPR atau membuat pernyataan verbal yang menghina Parlemen, kini kita juga berani mengatakan bahwa para pimpinan Banggar yang menginisiasi pemogokan juga ”melecehkan DPR”.

Jika DPR ingin menghapus tuduhan almarhum Gus Dur bahwa ”DPR adalah Taman Kanak-Kanak”, tak ada jalan lain kecuali para pimpinan dan anggotanya menghormati proses hukum atau proses politik yang berlaku di negeri ini. Seandainya pemogokan ini terus berlangsung, para pimpinan DPR wajib menegur pimpinan dan anggota Banggar. Jika tidak mempan, para pimpinan harus memberikan rekomendasi kepada para pimpinan fraksi yang anggotanya ada di Banggar agar melakukan tindakan yang tepat terhadap para anggota Banggar.

Jika itu juga tidak dilakukan oleh fraksi-fraksi di DPR, para pimpinan partai mau tidak mau harus mengganti para anggota Banggar itu. Jika tidak, parpol akan juga menuai citra buruk dan akan mendapatkan hukuman rakyat pada Pemilu Legislatif 2014.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tak Manusiawi Mengungkung Hasrat Seksual Napi


JAKARTA - Milana Anggraeni, istri terpidana kasus mafia pajak Gayus Tambunan tengah hamil besar saat ini. Hal tersebut kemudian menimbulkan spekulasi di masyarakat, bagaimana Milana bisa hamil, padahal suaminya sudah selama kurang lebih 17 bulan mendekam di penjara. Jika memang itu anak Gayus, maka pertanyaan lain pun muncul, dimana mereka melakukan hubungan suami istri?

Tapi yang jelas, menyusul kabar ini, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar langsung hadir dengan gagasan lama. Dia mengaku tengah mengkaji untuk menambah fasilitas khusus di Lapas, berupa ruang untuk melakukan hubungan seks bagi para Napi yang telah berkeluarga di penjara.

Gagasan Patrialis ini menuai banyak opini, ada yang mengkritiknya sebagai gagasan yang aneh, ada yang menganggapnya hanya menjadi tambang baru pungutan liar di dalam Lapas, namun ada pula yang setuju dengan gagasan ini.

Lantas, sebenarnya seberapa penting keberadaan fasilitas ini bagi warga Lapas sendiri?

Berikut wawancara okezone dengan Psikolog Teddy Hidayat pada Rabu (13/9/2011), terkait urgensi direalisasikannya gagasan tersebut.

Bagaimana tanggapan Anda mengenai gagasan Menkumham untuk menambah fasilitas ruang bercinta bagi Napi yang telah berkeluarga, di dalam Lapas?

Saya rasa gagasan ini cukup menarik, selama ini kan di dalam Lapas itu jenis kelaminnya sama, pria dikumpulkan bersama pria, wanita dengan wanita. Sementara manusia itu adalah makhluk biologis yang butuh penyaluran hasrat seksual dengan lawan jenis. Tidak manusiawi mengungkung hasrat ini. Tapi kalau menteri punya ide itu semestinya didukung bukti dari hasil penelitian yang memadai.

Seberapa mendesakkah kebutuhan Napi untuk melakukan hubungan seksual ini dipenuhi?

Secara naluriah, mereka yang sudah menikah dan berada di kisaran usia 30-40 tahun saja, rata-rata melakukan hubungan suami istri 1-2 kali dalam semingggu. Bisa dibayangkan jika mereka dipenjara, praktis aktivitas yang biasa dilakukan ini terhenti. Kalau hanya satu sampai dua bulan saja dipenjara, mungkin masih bisa menahan untuk tidak berhubungan seksual. Namun bagaimana dengan mereka yang dipenjara berpuluh-puluh tahun. Makin lama mereka akan makin bingung bagaimana menyalurkannya.

Lantas akibatnya?

Sudah menjadi rahasia umum terjadi hubungan seksual dengan sejenis, di dalam Lapas. Mengingat, memang tidak ada lawan jenis yang dikumpulkan bersama di sana. Tapi itu bukan berarti homoseksual, tapi memang keadaan saja yang memaksa demikian. Penyimpangan perilaku ini yang harus diteliti. Pemerintah tidak boleh menutup mata dengan fakta ini. Pasalnya, jika dibiarkan saja, selain tidak manusiawi, aktivitas ini juga besar resiko terhadap penularan penyakit, seperti HIV/AIDS. Di Nusakambangan kondisi ini pasti lebih parah, karena para tahanan disana rata-rata dihukum dalam jangka waktu lama, bahkan saya tahu ada yang seumur hidup. Penyediaan kondom di Lapas juga saya lihat minim. Memang dengan menyediakan kondom di Lapas kesannya melegalkan hubungan sejenis, namun hal itu lebih baik untuk mencegah penyakit menular.

Apa yang harus diperhatikan jika fasilitas ini jadi direalisasikan?

Tentunya pengaturannya harus diperhatikan dengan baik. Kalau nantinya mereka pakai harus bayar, ini harus diawasi agar tidak menjadi sumber korupsi. Lalu harus dibuat penjadwalan untuk para Napi ini, supaya adil, jangan sampai ada yang kebagian ada yang tidak. Teknisnya harus bekerja sama dengan petugas kesehatan dan psikiater yang dapat mengklasifikasikan mana Napi yang butuh segera dan mana yang belum, jadi bisa tepat pengaturan jadwalnya. Selain itu yang lebih penting adalah memastikan hanya Napi yang sudah berkeluarga yang bisa memanfaatkan fasilitas ini, tentu dengan istri sahnya. Jangan sampai disalahgunakan Napi dengan menyewa perempuan.

Presiden: Saya Bukan Peragu


KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasakan adanya kecenderungan, setiap tahun didorong untuk melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Namun ia memilih untuk tidak melayani tekanan itu.

"Ada kecenderungan setiap tahun saya didorong bahkan ditekan, diramaikan di media massa, agar melaksanakan reshuffle. Saya memilih tidak begitu saja melayani. Itu pilihan saya untuk tidak begitu saja setiap saat melaksanakan reshuffle," kata Presiden Yudhoyono saat membuka Musyawarah Nasional Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Jambi, Kamis (22/9/2011) malam.

"Bukan karena saya takut, bukan karena ragu-ragu. Dulu pada periode pertama, saya juga melakukan reshuffle, tetapi dengan alasan dan argumentasi yang bisa dinalar dengan baik," lanjut Presiden.

Kalau hanya sekadar reshuffle, bongkar pasang, ganti-ganti menteri, baik tanpa urgensi maupun alasan, maka hal itu dikhawatirkan justru akan mengganggu kesinambungan, stabilitas, dan efektivitas jajaran kabinet. "Saya memilih untuk tidak setiap saat bongkar pasang kabinet dan mengganti menteri dengan alasan tidak tepat," kata Presiden.

Delapan Bom Mengancam


SOLO- Pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Tegalharjo, Jebres, Solo, Pino Damayanto alias Achmad Yosepa Hayat, diyakini tidak beraksi sendirian.

Menurut sejumlah warga di sekitar gereja, pada Sabtu (24/9) siang dan Minggu pagi (25/9) sebelum melakukan aksi bom bunuh diri, pelaku datang ke sekitar GBIS bersama seorang pria dengan ciri yang berbeda-beda.

Subadi (49), yang tinggal dekat GBIS Kepunton, mengatakan, pada Sabtu siang dia melihat pelaku datang ke sekitar gereja sendirian. Pelaku bertanya kepada Subadi soal jalan dan letak warnet terdekat dengan gereja. Subadi menjawab pertanyaan pelaku apa adanya. Pelaku lantas pergi dan mengucapkan terima kasih.

Namun sesaat kemudian, Subadi melihat pelaku di ujung timur jalan Arif Rahman Hakim yang berjarak 200 meter dari gereja, bertemu dengan seorang pemuda.

Pemuda itu memiliki ciri-ciri lebih pendek, dagunya menonjol, serta memakai kaos berwarna hitam garis kuning. Selanjutnya, pelaku dan pemuda itu berbincang sebentar dan berjalan bersama-sama ke arah selatan gereja.
Pada Minggu (25/9) pagi, Mulyadi (44), anggota linmas (hansip-red) yang juga warga setempat, mengaku melihat pelaku datang bersama seorang lelaki dengan ciri yang berbeda beberapa jam sebelum melakukan aksi bom bunuh diri.

Ciri-ciri dari teman Hayat kali ini berperawakan kurus dan lebih tinggi dibandingkan pelaku. Kulitnya sawo matang. Dia memakai celana panjang berwarna gelap serta jaket berwarna biru. Sementara pelaku memakai pakaian berwarna putih, celana panjang hitam, dan sepatu kets.

“Sekitar pukul 06.00 Minggu pagi, saya melihat pelaku datang dari arah barat jalan gereja bersama seorang temannya. Mereka jalan kaki dan kemudian berhenti di depan salah satu toko di seberang timur gereja yang masih tutup. Di situ, keduanya berbincang sangat serius, tapi saya tidak bisa mendengar,” ujar Mulyadi.

Saat menyaksikan perbincangan antara pelaku dengan temannya, Mulyadi tengah bertugas jaga dan berada di seberang gereja. Jarak antara pelaku dan Mulyadi hanya sekitar 10 meter. Saat itu, Mulyadi tidak menaruh curiga sedikit pun kepada pelaku dan temannya.
Tidak lama menyaksikan perbincangan, Mulyadi pulang untuk mandi dan sarapan. Rumah Mulyadi, yang menyatu dengan warung makan, hanya berjarak sekitar 10 meter dari GBIS Kepunton.
Sekitar pukul 07.00, Mulyadi melihat Hayat mampir ke warung makan milik istrinya untuk sarapan. Namun dia hanya sendirian. Salah satu kawannya sudah tidak ada.

Di warung, pelaku sarapan dengan sejumlah gorengan dan minum teh.
”Saya juga sempat duduk bersama dengan dia di warung. Tapi tidak bisa bertanya karena dia sedang serius mendengarkan sesuatu dengan memakai headset,” katanya.

Setelah itu, Mulyadi pergi dari rumah untuk bertugas. Dia baru kembali ke rumahnya sekitar pukul 10.00 dan tak lama kemudian terjadi ledakan di gereja yang ada di sebelah kediamannya.
“Ketika saya melihat pelaku bom bunuh diri itu, saya langsung yakin kalau dia yang datang pagi-pagi ke sekitar gereja bersama seorang temannya. Dia juga yang sempat makan di warung saya beberapa jam sebelum kejadian,” tandas Mulyadi.

Anggota JAT

Sementara itu, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Kadivhumas Polri Irjen Anton Bachrul Alam memastikan, pelaku bom bunuh diri di GBIS adalah Pino Damayanto alias Achmad Yosepa Hayat.
Hayat disebutnya sebagai anggota Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.
”Hayat adalah anggota JAT Cirebon,” ujar Anton Bachrul Alam.

Menurut Anton, pada Oktober 2010 Hayat ikut terlibat perusakan minimarket Alfamart dan Indomart di Cirebon bersama Mochamad Sarip, pelaku bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikra Mapolres Cirebon, 15 April lalu.
Hayat juga yang mengantarkan Sarip ke Masjid Adz-Zikra. Menurut Anton, motif pelaku menjalankan aksi tersebut adalah jihad.
”Dia mendapatkan doktrin yang salah,” tambahnya.

Dikatakan, Hayat dalam menjalankan aksinya dibantu oleh empat rekannya yang kini buron. Mereka berinisial B, H, Y, dan N. ”Ini buronan lama,” ujar Anton. B adalah Beni Asri, Y atau Yadi Al Hasan, H inisial dari Heru Komarudin dan N Nanang Irawan.
Dia mengungkapkan, teroris jaringan Cirebon tersebut membawa sembilan bom siap ledak. Salah satunya telah digunakan oleh Hayat untuk melakukan aksi bom bunuh diri.

”Ada sembilan bom yang belum ditemukan. Kami belum dapatkan dan akhirnya meledak kemarin.”
Pihaknya masih menyelidiki siapa ahli atau pelatih perakit bom dalam jaringan tersebut. ”Untuk jaringan tentu berada di beberapa lokasi,” kata Anton.

Anton belum bisa memastikan bom rakitan yang ditemukan di sejumlah daerah seperti di Gereja Anugerah, Karangpanjang, Ambon pada 26 September 2011 apakah milik jaringan tersebut. Ada kemiripan bentuk dan komponen bom-bom tersebut.
Sementara itu, JAT membantah Hayat adalah anggotanya seperti yang dituduhkan oleh Polri.
Direktur Media Center JAT, Son Hadi menyatakan, Hayat bukan anggota JAT Cirebon. ”Dari data yang kami miliki tidak ada (nama Hayat),” ujar Son Hadi, kemarin. Dia mempertanyakan bukti Polri yang menyatakan Hayat adalah anggota JAT.

Menurutnya, selama ini tuduhan Polri bahwa pelaku bom bunuh diri seperti Mochamad Sarip yang melakukan aksi bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikra Mapolres Cirebon adalah anggota JAT tidak terbukti. Dikatakan, JAT adalah organisasi legal yang anggotanya terdata.
Sementara itu, Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokes) Polri Brigjen Musaddeq Ishak mengungkapkan, dari hasil tes DNA dan sidik jari diketahui bahwa jenazah pelaku bom bunuh diri di GBIS adalah Hayat.

”Setelah dilakukan pemeriksaan, dibandingkan jenazah, maka seluruh kesimpulan kami adalah tidak terbantahkan bahwa jenazah adalah Pino Damayanto alias Achmad Yosepa Hayat alias Hayat,” ujarnya.
Dikatakan, dari hasil uji laboratorium, DNA jenazah pelaku bom bunuh diri di GBIS cocok dengan DNA anak Hayat, Umaira Husna dan istri Hayat, Sifria Dewi.

Musaddeq menambahkan, pihak keluarga juga mengakui jenazah tersebut adalah Hayat berdasarkan ciri-ciri yang melekat. Ciri-ciri tersebut di antaranya bekas operasi hernia dan penebalan kulit kaku bagian luar.
Kemarin, keluarga Hayat telah mengambil jenazah di Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Keluarga Hayat menyerahkan pengurusan pemakaman pria yang lahir di Cirebon 1980 itu ke Polri.
Hayat di makamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Rangon, Jakarta Timur, bersisian dengan Mochammad Sarip. Makam Hayat tak jauh dari makam tersangka teroris lainnya, Syaifudin Zuhri bin Jaelani dan M Syahrir yang tewas dalam penggerebekan Tangerang, Banten pada Oktober 2009.

Proses pemakaman itu tidak dihadiri langsung oleh keluarga Hayat. Keluarga Hayat yakni ibu, istri dan anak, Hindun, Sifria Dewi, Umaira Husna hanya menyaksian dari dalam mobil Toyota Avanza warna hitam dengan nomor polisi B-1879-IZ.
Pemakaman dilakukan oleh dua petugas dari TPU Pondok Rangon dan sejumlah polisi.
Pengacara keluarga Hayat, Nurlan mengungkapkan, keluarga Hayat menyerahkan proses pemakaman ke Polri dengan alasan kondisi jenazah sudah tidak dimungkinkan dimakamkan di Cirebon. (K23,G11,K24,D3-25)

Rok Mini dan Pemerkosaan * Oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti


SAYA selalu risau, bahkan sedih, setiap kali ada kasus perkosaan atau kasus pelecehan seksual. Masih saja ada komentar yang tidak memihak korban. Terlebih jika komentar-komentar tersebut dilontarkan oleh pejabat atau tokoh terkenal.

Ucapan para pejabat dan tokoh akan membentuk opini publik dan mencerminkan sosok yang berucap. Lebih bahaya lagi jika ucapan atau pendapat pejabat tersebut —entah baik atau buruk, benar atau salah— lantas meng-hegemoni pikiran masyarakat dan akhirnya menjadi konstruksi sosial.

Ucapan Gubernur DKI yang mengatakan bahwa: ”bayangkan jika dia duduk di depan pakai rok mini”, membuat saya kaget. Lho? Memangnya pakai rok mini harus diperkosa? Yang mengharuskan siapa? Padahal beberapa tahun yang lalu pernah juga ada kasus santri sepulang mengaji diperkosa. Mereka tidak pakai rok mini.

Komentar yang lebih ekstrem dilontarkan seseorang pejabat di Aceh ”perempuan tidak berjilbab patut diperkosa”. Saya semakin heran, siapa yang mematutkan? Kasus perkosaan bisa menimpa siapa saja, bisa laki-laki, bisa perempuan, bisa deawsa dan anak-anak. Komentar senada juga akhirnya menjadi konstruksi sosial umum setiap kasus perkosaan terungkap, misalnya ”salahnya pakai rok mini dan bersikap mengundang”.
Lantas ketika ada nenek-nenek uzur dan anak balita di bawah usia 5 tahun diperkosa, apakah mereka berperilaku mengundang?

Kontruksi Sosial

Konsep perempuan adalah warga negara kelas dua, perempuan adalah the others atau kelompok lain dan sebagai objek, sementara itu, sebagai yang utama dan subjek adalah laki-laki, tampaknya menghegemoni pikiran masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, terutama laki-laki dalam kultur yang sangat patriarkat. Karena pe-rempuan adalah objek, maka dia hanya bermakna ketika dia ”dimaknai” oleh subjeknya (yakni laki-laki) dan objek itu menjadi milik subjeknya.
Konsep ini tampaknya lantas melahirkan perilaku ”karena perempuan adalah milik laki-laki, maka sah-sah saja diperlakukan apa saja oleh pemiliknya”. Bahkan konsep milik itu identik dengan barang benda yang bisa diperlakukan apa saja.

Dengan konsep yang demikian keliru itu tetapi telanjur menghegemoni para lelaki, maka setiap perempuan —tidak peduli dia siapa— adalah menjadi milik laki-laki yang bisa mengapakan saja barang miliknya.
Konstruksi ini menjadi semakin miris manakala masyarakat bersikap apatis bahkan mendukung konstruksi sosial tersebut karena merupakan bagaian yang melahirkan konstruksi sosisal tersebut.

Tampaknya dalam konstruksi sosial dan realitas sosial, sosok perempuan masih harus berjuang lebih keras lagi untuk melakukan dekonstruksi yang tidak saja harus dilakukan oleh perempuan itu sendiri, namun juga oleh masyarakat.
Pandangan mendua masih terjadi dalam masyarakat kita. Manakala ada sosok perempuan yang tidak peduli pada penampilannya, tidak mau berdandan atau bahkan berdandan tidak rapi, tidak cantik tidak segar, langsung masyarakat berkomentar ”perempuan kok nglomprot, nanti tidak laku”. Giliran perempuan berdadan cantik, wangi, perpakaian seksi, lantas diperkosa.

Ini kan semacam ambiguitas yang masih terjadi di masyarakat. Apakah perempuan cantik, wangi, seksi, berpakaian mini harus diperkosa? Yang mengahruskan itu siapa? Ini merisaukan banyak perempuan yang sebenarnya juga sesama warga masyarakat dan warga negara.

Setengah Hati

Selalu yang terjadi adalah melakukan tindakan pencegahan ketika sudah terjadi kasusnya. Sama halnya dengan kasus perkosaan ini. Sekarang, razia ”kaca film” di angkutan umum dilakukan di mana-mana.
Sebenarnya perlu affirmative action yang tidak setengah hati. Kebijakan untuk penyelamatan yang konsisten, bahkan cenderung intensif dan meningkat, jangan kebijakan yang hangat-hangat tahi ayam, sehingga dampaknya juga tidak setengah-setengah.
Karena kebijakan setengah hati juga akan membuat para pelaku perkosaan melakukan persembunyiannya sepenuh hati. Artinya dengan sepenuh hati para pelaku kejahatan perkosaan akan mengekang hasrat memerkosa, menunggu kebijakan usai, baru mereka beraksi lagi. Karena sudah menjadi kebiasaan bahwa kebijakan itu hanyalah kebijakan sementara, kebijakan setengah hati yang nanti juga akan hilang dengan sendirinya.

Kalau pikiran para pelaku kejahatan perkosaan seperti ini, maka sebenarnya yang diperlukan adalah kesungguhan hati para anggota masyarakat untuk secara aktif dan konsisten berupaya meminimalisasi terjadinya kejahatan perkosaan, agar para pelaku kejahatan juga dengan sepenuh hati mengekang hasratnya memerkosa. Kalau perlu sampai tidak ada celah dan tidak ada kesempatan sama sekali.

Sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan, perlindungan pekerja di malam hari sudah tertulis dengan indah dan rinci, tapi tampaknya uraian kewajiban untuk para pengusaha terhadap karyawan perempuannya, hanyalah merupakan rangkaian puisi amat indah dalam buku yang belum sepenuhnya dijalankan atau bahkan belum dipahami.
Sebenarnya yang lebih penting adalah bagiamana kita semua membuka wacana menciptakan diskursus bahwa ”perempuan cantik, seksi dan pakai rok mini bukan saja tidak harus diperkosa, melainkan tidak boleh diperkosa. Karena tidak ada yang mengharuskan dan tidak ada yang membolehkan. (24)

—Tri Marhaeni Pudji Astuti, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Unnes.

Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad