Selasa, 27 September 2011

Rok Mini dan Pemerkosaan * Oleh Tri Marhaeni Pudji Astuti


SAYA selalu risau, bahkan sedih, setiap kali ada kasus perkosaan atau kasus pelecehan seksual. Masih saja ada komentar yang tidak memihak korban. Terlebih jika komentar-komentar tersebut dilontarkan oleh pejabat atau tokoh terkenal.

Ucapan para pejabat dan tokoh akan membentuk opini publik dan mencerminkan sosok yang berucap. Lebih bahaya lagi jika ucapan atau pendapat pejabat tersebut —entah baik atau buruk, benar atau salah— lantas meng-hegemoni pikiran masyarakat dan akhirnya menjadi konstruksi sosial.

Ucapan Gubernur DKI yang mengatakan bahwa: ”bayangkan jika dia duduk di depan pakai rok mini”, membuat saya kaget. Lho? Memangnya pakai rok mini harus diperkosa? Yang mengharuskan siapa? Padahal beberapa tahun yang lalu pernah juga ada kasus santri sepulang mengaji diperkosa. Mereka tidak pakai rok mini.

Komentar yang lebih ekstrem dilontarkan seseorang pejabat di Aceh ”perempuan tidak berjilbab patut diperkosa”. Saya semakin heran, siapa yang mematutkan? Kasus perkosaan bisa menimpa siapa saja, bisa laki-laki, bisa perempuan, bisa deawsa dan anak-anak. Komentar senada juga akhirnya menjadi konstruksi sosial umum setiap kasus perkosaan terungkap, misalnya ”salahnya pakai rok mini dan bersikap mengundang”.
Lantas ketika ada nenek-nenek uzur dan anak balita di bawah usia 5 tahun diperkosa, apakah mereka berperilaku mengundang?

Kontruksi Sosial

Konsep perempuan adalah warga negara kelas dua, perempuan adalah the others atau kelompok lain dan sebagai objek, sementara itu, sebagai yang utama dan subjek adalah laki-laki, tampaknya menghegemoni pikiran masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, terutama laki-laki dalam kultur yang sangat patriarkat. Karena pe-rempuan adalah objek, maka dia hanya bermakna ketika dia ”dimaknai” oleh subjeknya (yakni laki-laki) dan objek itu menjadi milik subjeknya.
Konsep ini tampaknya lantas melahirkan perilaku ”karena perempuan adalah milik laki-laki, maka sah-sah saja diperlakukan apa saja oleh pemiliknya”. Bahkan konsep milik itu identik dengan barang benda yang bisa diperlakukan apa saja.

Dengan konsep yang demikian keliru itu tetapi telanjur menghegemoni para lelaki, maka setiap perempuan —tidak peduli dia siapa— adalah menjadi milik laki-laki yang bisa mengapakan saja barang miliknya.
Konstruksi ini menjadi semakin miris manakala masyarakat bersikap apatis bahkan mendukung konstruksi sosial tersebut karena merupakan bagaian yang melahirkan konstruksi sosisal tersebut.

Tampaknya dalam konstruksi sosial dan realitas sosial, sosok perempuan masih harus berjuang lebih keras lagi untuk melakukan dekonstruksi yang tidak saja harus dilakukan oleh perempuan itu sendiri, namun juga oleh masyarakat.
Pandangan mendua masih terjadi dalam masyarakat kita. Manakala ada sosok perempuan yang tidak peduli pada penampilannya, tidak mau berdandan atau bahkan berdandan tidak rapi, tidak cantik tidak segar, langsung masyarakat berkomentar ”perempuan kok nglomprot, nanti tidak laku”. Giliran perempuan berdadan cantik, wangi, perpakaian seksi, lantas diperkosa.

Ini kan semacam ambiguitas yang masih terjadi di masyarakat. Apakah perempuan cantik, wangi, seksi, berpakaian mini harus diperkosa? Yang mengahruskan itu siapa? Ini merisaukan banyak perempuan yang sebenarnya juga sesama warga masyarakat dan warga negara.

Setengah Hati

Selalu yang terjadi adalah melakukan tindakan pencegahan ketika sudah terjadi kasusnya. Sama halnya dengan kasus perkosaan ini. Sekarang, razia ”kaca film” di angkutan umum dilakukan di mana-mana.
Sebenarnya perlu affirmative action yang tidak setengah hati. Kebijakan untuk penyelamatan yang konsisten, bahkan cenderung intensif dan meningkat, jangan kebijakan yang hangat-hangat tahi ayam, sehingga dampaknya juga tidak setengah-setengah.
Karena kebijakan setengah hati juga akan membuat para pelaku perkosaan melakukan persembunyiannya sepenuh hati. Artinya dengan sepenuh hati para pelaku kejahatan perkosaan akan mengekang hasrat memerkosa, menunggu kebijakan usai, baru mereka beraksi lagi. Karena sudah menjadi kebiasaan bahwa kebijakan itu hanyalah kebijakan sementara, kebijakan setengah hati yang nanti juga akan hilang dengan sendirinya.

Kalau pikiran para pelaku kejahatan perkosaan seperti ini, maka sebenarnya yang diperlukan adalah kesungguhan hati para anggota masyarakat untuk secara aktif dan konsisten berupaya meminimalisasi terjadinya kejahatan perkosaan, agar para pelaku kejahatan juga dengan sepenuh hati mengekang hasratnya memerkosa. Kalau perlu sampai tidak ada celah dan tidak ada kesempatan sama sekali.

Sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan, perlindungan pekerja di malam hari sudah tertulis dengan indah dan rinci, tapi tampaknya uraian kewajiban untuk para pengusaha terhadap karyawan perempuannya, hanyalah merupakan rangkaian puisi amat indah dalam buku yang belum sepenuhnya dijalankan atau bahkan belum dipahami.
Sebenarnya yang lebih penting adalah bagiamana kita semua membuka wacana menciptakan diskursus bahwa ”perempuan cantik, seksi dan pakai rok mini bukan saja tidak harus diperkosa, melainkan tidak boleh diperkosa. Karena tidak ada yang mengharuskan dan tidak ada yang membolehkan. (24)

—Tri Marhaeni Pudji Astuti, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Unnes.

Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad

Tidak ada komentar: