Sabtu, 10 Mei 2008

Apa Benar Perlawanan Kali ini Bakal Cepat Surut?



(berpolitik.com): Meski belum resmi, sepertinya harga BBM bakal naik sekitar 30%. Itu artinya premium mesti dibayar dengan harga Rp 6200-an. Secara psikologis, ini harga yang sangat bisa membuat banyak orang senewen.

Semula para pengamat menganjurkan kenaikan maksimal 10%. "Sudah terlambat dik. Kalau awal tahun lalu, ya memang segitu. Karena ditunda-tunda, sekarang jadinya ya segitu kalau APBN tak mau dijebol," kata seorang pengamat ekonomi.

Kenaikan setinggi ini pastinya bakal mengundang protes dan perlawanan dari banyak pihak. Toh, begitu, pemerintah sepertinya begitu yakin. Dengarlah apa kata Jusuf Kalla. Menurut dia, kenaikan BBM tak bakal menimbulkan gejolak. ''Itu karena pemerintah mengimbangi kenaikan harga dengan menerapkan bantuan langsung tunai (BLT),''katanya (8/5).

Keyakinan ini merujuk pada protes yang hanya seminggu pada kenaikan BBM kedua semasa pemerintahan SBY-Kalla, yakni Oktober 2005 silam. Ketika itu kenaikan mencapai 120%. Protes masyarakat, kata Kalla, hanya berlangsung satu pekan. Pada kenaikan pertama, Mei 2005, yang "hanya" 30%, protes masyarakat berlangsung dua pekan.

Kalla sepertinya memang mengandalkan BLT sebagai senjata pamungkas meredam kemarahan masyarakat. Apalagi, BLT kali ini lebih menggoda. Selain duit tunai, juga ada paket sembako seperti beras dan minyak goreng.

BLT memang senjata ampuh meredam kritik masyarakat. Mereka yang tak setuju akan dengan mudah disebut anti rakyat. Mereka yang mengkritik implementasinya bakal dengan mudah ditangkis dengan menyebut sebagai "penyimpangan" prosedur oleh oknum.

Ribut Horizontal
Tapi, sejumlah kalangan menganggap, kekuatan terbesar BLT justru pada kemampuannya untuk mengalihkan konflik ke tingkat horizontal. Perhatian masyarakat miskin akan tercurah kepada aparat terbawah dari mulai lurah/kades hingga ketua RT. Ini terkait dengan penetapan keluarga miskin.

Sebagaimana diketahui, pemerintah akan menggunakan data lama penerima BLT tahun 2005, yakni 19,1 juta rumah tangga miskin. Alasannya, tak ada waktu untuk melakukan pendataan ulang. Jika ini yang terjadi, akan banyak keluarga miskin tak menerima BLT. Pada saat yang bersamaan, tingkat kebocorannya juga bakal tinggi.

Soalnya, ketika itu, untuk mengatasi tuntutan masyarakat, tak jarang, kades/lurah memasukan saja semua nama yang melakukan protes. Maklum, kalau menyangkut pembagian 'rejeki', akan lebih banyak orang mengaku dirinya miskin. Tapi, untuk konteks lain, ada kecenderungan warga marah-marah jika disebut miskin.

Singkat cerita, sepertinya harapan pemerintah, perhatian warga dan media bakal tercurah pada soal penggelontoran BLT plus. Warga akan saling sikut untuk mendapatkan BLT plus. Penyimpangan dipastikan terjadi. Akan ada cerita-cerita kades nakal yang mengambil dana BLT buat dirinya atau keluarganya. Akan ada reaksi kemarahan warga. Ini diharapkan akan menjadikan perhatian media teralih.


Isu Laten
BLT plus memang bisa mengalihkan perhatian. Tapi, yang dilupakan pemerintah, ada isu laten yang jika dibangkitkan bakal menjadi tohokan balik kepada mereka.

Sebagaimana disebut Wiranto, kenaikan harga BBM bisa dihindari jika saja pemerintah SBY-JK sejak awal berfokus meningkatkan produksi minyak Indonesia, serius menekuni sumber energi alternatif biofuel, memangkas inefisiensi Pertamina dalam menyalurkan BBM bersubsidi dan kegiatan ekspor impor yang dikuasai broker.

Menurut pengamat energi, sejak pemerintahan SBY-Kalla, lifting minyak Indonesia bukannlah naik tapi malah turun. Yang terparah adalah fakta bahwa kegiatan impor minyak itu terkait ketiadaan kilang minyak yang sesuai dalam negeri untuk memproses tipe minyak mentah yang ada di bumi Indonesia. "Purnomo (Menteri ESDM) sama sekali tak punya perhatian soal itu," katanya.

Jika kilang minyak yang sesuai dibangun, Indonesia tak perlu lagi mengimpor minyak jadi dari Singapura. "Ya, memang masih ada impor untuk jenis minyak mentah tertentu. Tapi separah sekarang, seharusnya" katanya lagi.

Tak heran jika kemudian tudingan mengarah pada keberadaan broker-broker minyak yang menguasai bisnis perminyakan dalam negeri."Yang semakin kaya itu mereka saja. Patut dipertanyakan mengapa pemerintahan SBY-JK diam saja. Purnomo ndak bakalan berani kalau tak dilindungi keduanya, bukan?" kata seorang pengamat pertambangan yang geram dengan kinerja Menteri ESDM ini.

Jadi, kalau kalangan yang menggalang protes mengarahkan pada isu "aliansi haram jadah" antara Pertamina, mentabem dan mafia minyak maka protes warga bukan tak mungkin bisa lebih lama lagi berlangsung.

Kalau isunya dipersonafikasi lagi pada sosok Purnomo dan Mr R (inisial mafia minyak yang banyak disebut media massa), perlawanan bakal lebih hot lagi.

Dan, kalau kemudian dioprek-oprek kelompok politik dibalik Purnomo maka lebih keras lagi perlawanan yang bakal muncul. Karena ini sejatinya sentimen lama yang mudah diletupkan lagi.

Terakhir, tentu saja, dengan menunjukkan stagnasi produksi minyak Indonesia selama dipimpin SBY-JK, maka emosi publik akan semakin menggelora melakukan perlawanan karena mengetahui kenaikan harga BBM disebabkan kelalaian pemerintah.

Kalau sekadar menggunakan isu kenaikan BBM sebagai "tak pro rakyat", ya, seperti Kalla, bakal mudah diredam dengan BLT.

Tidak ada komentar: