Kamis, 26 Juli 2012

Puasa dan Kenikmatan Iman

IMAN dan Islam adalah dua kata yang paling sering diperbincangkan dalam setiap kegiatan keagamaan. Kedua kata ini memang memiliki hubungan erat yang tidak bisa dipisahkan. Indikator keislaman seseorang tidak bisa hanya diukur dari sisi penampilan lahiriyah. Lebih substantif dari itu, keislaman seseorang akan menjadi sempurna jika dibarengi dengan peneguhan keimanan di dalam batin. Hanya dengan iman yang kokoh, seseorang akan rela dan ikhlas untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam yang disyariatkan. Iman tidak bersifat constant. Ia juga tidak berada pada ruang hampa. Karena itu, iman memiliki tingkatan dan gradasi. Pada situasi tertentu, iman dapat bertambah dan juga berkurang. Bertambah dan berkurangnya iman tergantung pada pengalaman ruhani yang bersifat metafisis dan juga pengalaman jasmani yang bersifat empiris. Sejalan dengan itu, Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya iman akan usang di rongga salah seorang dari kalian sebagaimana halnya pakaian, maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui iman di dalam hati kalian.” (HR. Thabrani). Sabda Rasulullah ini sekaligus mempertegas bahwa iman itu bersifat labil. Diperlukan berbagai upaya untuk me-recharge agar iman semakin kokoh, atau minimal tidak terjun bebas tanpa orientasi yang jelas. Iman yang tidak dikendalikan, laksana hidup tanpa tujuan. Padahal, pepatah mengatakan “life without purpose has no meaning”. Dengan demikian, iman sangat menentukan tingkat kebermaknaan hidup. Ibadah puasa adalah panggilan iman. Walau puasa adalah salah satu rukun Islam, namun yang dipanggil untuk melaksanakannya hanyalah orang beriman. Dalam surat Al-Baqarah ayat 183 secara eksplisit dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Panggilan Allah ini setidaknya memiliki dua tujuan. Pertama, ibadah puasa bertujuan untuk menguji keteguhan iman. Hampir dapat dipastikan bahwa hanya orang beriman yang mau melaksanakan puasa. Karena itu, pemenuhan terhadap panggilan ini adalah barometer untuk mengukur tingkat keimanan. Sebaliknya, pengabaian terhadap panggilan ini merupakan indikator kelemahan atau ketiadaan iman. Kedua, ibadah puasa bertujuan untuk meningkatkan kualitas iman. Bagi orang beriman, puasa adalah sarana paling efektif untuk memperbaharui dan meningkatkan kualitas iman. Seperangkat aturan yang secara inherent terdapat dalam ibadah puasa diyakini dapat mengasah serta membersihkan hati. Hanya hati yang tajam dan bersih yang dapat menyentuh dan memahami kebesaran dan kekuasaan Allah. Berkenaan dengan itu, output dari ibadah puasa tidak hanya diperoleh di hari kemudian, namun juga dapat dinikmati sewaktu masih hidup. Banyak orang merasakan nikmatnya pengalaman spiritual selepas melaksanakan ibadah puasa. Dalam kaca mata sufi, kenikmatan seperti ini tidak bisa dilukiskan dengan pena dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sementara para kalangan da’i sering menggambarkan ini dengan istilah kenikmatan iman. Atas dasar itulah kemudian banyak orang merasa terpanggil untuk melakukan ibadah puasa sunnah di luar bulan suci Ramadan. Pada titik ini, terlihat dengan jelas adanya hubungan harmonis antara iman dan kenikmatan spiritual. Wallau’alam.

Tidak ada komentar: