Sabtu, 08 November 2008

DPR Minta KPU Benahi Koordinasi Internal

JAKARTA - Carut-marut kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga saat ini menyebabkan komisi bidang pemerintahan dalam negeri DPR prihatin. Wakil Ketua Komisi II Ida Fauziah menganggap koordinasi internal antaranggota KPU-lah yang menjadi pangkal masalah.

"Masih ada waktu, perbaiki dulu kondisi internal," kata Ida saat dihubungi di Bandung kemarin (8/11). Dia menilai, ada koordinasi yang terputus antaranggota KPU sehingga kinerja para penyelenggara pemilu itu secara kelembagaan tak efektif.

Indikasi terakhir yang sangat mencolok, menurut Ida, adalah kekosongan Kantor KPU yang ditinggal para anggotanya. "Itu tidak boleh terjadi lagi," tegas politisi perempuan asal PKB itu. Sebab, tantangan yang dihadapi KPU makin hari makin berat.

Pada 4 November lalu, Kantor KPU memang sempat melompong. Selain tiga anggotanya -Andi Nurpati, Abdul Aziz, dan Sri Nuryanti- ke Amerika Serikat, Ketua KPU Abdul Hafiz juga ada di luar negeri selama 10 hari sejak awal bulan. Pokja Pencalonan Legislatif Endang Sulastri pun hingga kemarin tidak berada di tempat karena melakukan sosialisasi di Den Haag, Belanda.

Pada hari itu, dua anggota yang tersisa, Syamsul Bahri dan I Gusti Putu Artha, juga berada di luar kota. Meski kini sudah berada di Jakarta, keduanya hampir dipastikan tak akan bisa berbuat banyak menyelesaikan masalah yang makin menumpuk di KPU. Sebab, setiap keputusan yang diambil harus bersifat kolegial.

Ida berharap, kode etik KPU yang diresmikan Jumat lalu (7/11) dapat menjadi solusi atas masalah yang terjadi di KPU. "Meski telat, aturan main itu dapat dijadikan landasan menindak anggota yang dianggap melanggar kode etik," ujarnya.

Dalam kode etik KPU diatur pembentukan dewan kehormatan yang bisa diusulkan apabila terjadi pelanggaran. Lembaga ad hoc yang beranggota tiga orang KPU dan dua orang dari luar itulah yang memiliki kewenangan memberikan sanksi. Mulai peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga pemberhentian.

Secara terpisah, pengamat pemilu Ray Rangkuti menilai pengesahan kode etik KPU dan Bawaslu itu sudah sangat terlambat. Sesuai ketentuan UU Penyelenggara Pemilu, seharusnya kode etik dibuat selambat-lambatnya tiga bulan setelah Bawaslu terbentuk. Karena Bawaslu dilantik April, seharusnya Juli kode etik sudah diselesaikan. "Keterlambatan itu sendiri merupakan pelanggaran KPU dan Bawaslu," kata Ray.

Sudah terlambat, isinya pun mengecewakan. Menurut Ray, Bawaslu tidak mampu memberikan kontrol yang ketat atas pelanggaran yang dilakukan KPU. Di dalamnya, sama sekali tidak ditetapkan mekanisme sanksi atau tata cara pengunduran diri anggota KPU yang bermasalah. "Pada akhirnya, kode etik ini memang didesain untuk tidak efektif," tandasnya.

Tidak ada komentar: