Minggu, 28 Agustus 2011

Fokus Korupsi Nazaruddin


Belakangan kita melihat ada upaya-upaya membelokkan kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. Apabila upaya pembelokan kasus itu berhasil, publik pasti kembali kecewa terhadap kesungguhan pemerintah dan aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam memerangi korupsi.

Dalam dua kasus sebelumnya, yakni kasus mafia pajak dengan aktor utama Gayus Tambunan dan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun, relatif tak ada big fish yang tertangkap. Kedua kasus yang diharapkan mampu menguak korupsi para elite, cenderung berakhir antiklimaks. Gayus Tambunan akhirnya “sendirian” bertanggung jawab atau praktik penggelapan pajak, sedangkan atasan dan perusahaan yang memanipulasi pajak, sama sekali tak tersentuh. Demikian juga dengan skandal Century yang hanya mampu menangkap “wayang”, bukan “dalang”! Khusus skandal Century, kita tinggal menunggu vonis politik karena KPK tak sanggup menuntaskannya dalam koridor hukum.

Berkaca dari dua kasus tersebut, kita berharap KPK tetap fokus menghimpun keterangan dari para saksi dan barang bukti untuk menjerat Nazaruddin dan juga elite lainnya yang selama ini memakan uang rakyat. KPK wajib mengabaikan segala manuver, baik yang dilakukan Nazaruddin atau pihak-pihak lain yang menghendaki kasus ini diisolasi.

Kita mencatat sedikitnya lima manuver yang dilakukan Nazaruddin, entah atas inisiatif sendiri atau diskenariokan oleh pihak lain. Pertama, surat yang dikirim Nazaruddin kepada Presiden SBY. Dalam suratnya, Nazaruddin antara lain meminta SBY memberikan ketenangan lahir dan batin kepada keluarganya, khususnya istri dan anak-anaknya. Imbalannya,

dia tidak akan menceritakan apa pun yang dapat merusak citra Partai Demokrat dan KPK. Dalam hitungan hari, SBY mengirim balasannya.

Bagi kita, seharusnya surat itu tak perlu ditanggapi karena ada banyak tersangka lain yang juga ingin keluarganya tak diusik. Kedudukan hukum Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni yang kini menjadi buronan Interpol, sama dengan warga negara lainnya, meski yang bersangkutan pernah menduduki jabatan penting di parpol yang sedang berkuasa.

Kedua, dugaan pelanggaran HAM saat pemulangan dari Kolombia dan selama dalam tahanan Mako Brimob. Hak-hak Nazaruddin memang harus dihormati, tetapi jangan sampai hal itu justru menenggelamkan kewajibannya untuk bertanggung jawab atas dugaan korupsi dalam 31 kasus senilai Rp 6,037 triliun.

Ketiga, Nazaruddin yang bungkam dan kerap menyatakan, ”saya tidak tahu”. Bila dibandingkan saat menjadi buronan, pernyataan itu sungguh bertolak belakang. Saat di luar negeri, Nazaruddin menuding rekan-rekannya separtai, yakni Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Jafar Hafsah, Mirwan Amir, dan Angelina Sondakh, ikut menerima suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games. Nazaruddin mengaku menyimpan semua bukti. Selain itu, dia juga menuding petinggi KPK berkolusi untuk tidak melanjutkan penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan politisi tertentu. “Nyanyian” tersebut seharusnya merupakan petunjuk awal bagi KPK untuk mengorek keterangan dari sejumlah nama yang disebut Nazaruddin.

Keempat, permintaan pindah tempat tahanan dari Mako Brimob ke LP Cipinang. Bagi kita, permintaan itu berlebihan. Kekhawatiran Nazaruddin akan diracun, bahkan dibunuh, sangat mengada-ada. Dengan pengamanan superketat, termasuk dalam soal makanan, keselamatannya justru lebih terjamin di Mako Brimob. Kita justru curiga desakan untuk pindah agar Nazaruddin lebih leluasa bergerak, bahkan bukan tidak mungkin menjadi langkah awal untuk kabur dari tahanan. Keluar-masuknya Gayus Tambunan saat ditahan di Mako Brimob tak bisa menjadi ukuran longgarnya pengamanan di sana.

Kelima, Nazaruddin tak ingin diperiksa KPK melainkan Kejaksaan Agung. Hal itu terkait dengan tudingannya terhadap petinggi KPK yang berkolusi dengan politisi. Saat ini tudingan tersebut sedang didalami Komite Etik KPK dan bila benar, toh kasus Nazaruddin bisa ditangani petinggi KPK lainnya.

Keinginan itu juga sulit diterima mengingat KPK lahir karena Kejaksaan tak becus melaksanakan tugasnya. Meski kini reputasi Kejaksaan berangsur membaik, tetap lebih baik penanganan kasus Nazaruddin dipercayakan pada KPK.

Terkait hal itu, kita mendorong KPK memanggil semua nama yang disebut Nazaruddin, khususnya kader Partai Demokrat. Kader Demokrat telah menyatakan kesediaannya, tinggal ditindaklanjuti KPK. Selain itu, KPK juga bisa meminta bantuan PPATK untuk menelusuri aliran dana ke rekening Partai Demokrat untuk mengetahui apa betul ada dana suap yang mengalir ke partai politik.

Sejalan dengan itu, KPK juga harus melakukan penyelidikan dugaan mafia anggaran di DPR. Kasus Nazaruddin justru berawal dari buruknya sistem anggaran, sehingga banyak celah untuk menggerogoti uang rakyat. Dalam kasus ini, kita kembali mengingatkan KPK untuk fokus menangani korupsi Nazaruddin dan kroninya, sekaligus mengabaikan berbagai manuver yang bisa membuat kasus ini berakhir antiklimaks.

Tidak ada komentar: